PEMERKOSAAN PEREMPUAN CINA DAN KEKERASAN KOLOSAL


“Lebih baik bangsa ini fokus pada rekonsiliasi kalau berpikir lagi untuk membongkar siapa pelaku yang bertanggung jawab. ini akan terjadi kegaduhan politik.”  
( Patrialis Akbar, 20 Mei 2010)



Memaafkan dan  melupakan. Itulah makna yang ditangkap dari ucapan Menteri Hukum dan HAM. Sikap negara untuk memberi kompensasi kesehatan dan pekerjaan bagi para keluarga korban menjadi sia – sia jika tanpa memenuhi hak keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

Di dunia yang tidak bermoral, kepalsuan atau kebenaran tidaklah berarti, sebuah cara pandang ala Nietzsche. Cara pandang yang terdengar gila tetapi justru menemukan landasan praktis di sebuah negeri bertuhan, berkeadilan, dan berprikemanusiaan.

Mei 1998 sudah berlalu tetapi ingatan masih membekas, dan orang mencatatnya sebagai sejarah yang mungkin masih sebagian kecil. Kejahatan di masa lalu dipeti-es-kan dan merupakan kejadian bersejarah yang harus dimaklumi oleh semua pihak. Pelaku  pada akhirnya bebas melangkah sementara korban dibayang-bayangi peristiwa buruk di dalam suatu apapun, padahal jumlah korbannya banyak.

Tanda-tanda sebelum berakhirnya Orde Soeharto adalah kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Kebanyakan sasarannya adalah orang Cina. Orang Cina menjadi korban, sasaran empuk untuk melanggengkan Orde yang banyak keroposnya. Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara dalam pernyataannya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kerusuhan yang terencana. (Mengenang untuk Tidak Melupakan. Pernyataan Sikap Peringatan 6 Tahun Tragedi Mei 1998. Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 - Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pondok Ranggon, 13 Mei 2004)

“Sekitar pukul 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar dari mobil. Mereka mulai melucuti pakaian kedua perempuan itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia. Setelah kedua perempauan itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati mereka dan mencari jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuaan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. Setelah menolong dua wanita itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?”(Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).

Orang-orang Cina menjadi korban di dalam sebuah panggung politik yang berubah. Hari-hari akhir Soeharto sedang ditentukan pada Mei 1998, rakyat sedang resah dan kini mulai ada kumpulan massa yang menyuarakan keresahannya di jalan-jalan akibat naiknya sembako. Di antara kumpulan  massa kemudian mencuri, merampok, dan  menjarah toko-toko, yang mungkin muncul karena dorongan ekonomi. Tetapi kemudian darimana muncul dorongan seks untuk memperkosa, apalagi perkosaan secara massal?

Tim Relawan untuk Kemanusiaan dalam Dokumen Awal No. 3, dokumentasi setebal 19 halaman, menyebutkan terjadinya korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal berjumlah 168. Menurut Drs. Hasballah M. Saad M.S., dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia, angka 168 untuk pemerkosaan dalam beberapa hari kerusuhan merupakan angka yang luar biasa.

Walau kasus kekerasan dan pemerkosaan bukanlah barang baru, tetapi besarnya angka kejadian dalam jangka waktu singkat menunjukkan peristiwanya yang kolosal. Angka 168 kasus pemerkosaan pada Mei 1998 pada akhirnya menjadi kasus pemerkosaan massal paling dahsyat di Indonesia dalam sejarah abad XX.

Tetapi laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tidak ditanggapi aparat keamanan dengan baik untuk diselidiki dan dilakukan proses hukum terhadap pelakunya. Justru Kepala Kepolisian RI, Letnan Jenderal Roesmanhadi memberi pernyataan bahwa selama tidak ada bukti, pemerkosaan itu tidak ada. Kolonel Gorries Mere, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, kemudian muncul di televisi. Pernyataannya, “Polisi sudah menyelidik hingga 103 kasus, tapi tidak pernah kami dapatkan bukti konkret.”

Pemerkosaan massal terhadap perempuan Cina adalah kekerasan kolosal yang terencana dan menjadi bagian dari gerakan politik di masa itu. Penyelesaiannya harusnya secara politik. Tetapi aparat keamanan negara menganggap peristiwa itu sebagai kriminal biasa.

ABRI bersikap keras menemui para korban pemerkosaan dan polisi menghendaki ada bukti fisik. Sikap mencari korban dan pelakunya itu justru dapat menimbulkan dugaan bahwa Pemerintah waktu itu yang dipimpin Habibie ingin mengabaikan aspek politik peristiwa tersebut.

Harusnya aparat keamanan negara dapat mengerti bahwa sangat berat bagi korban untuk mengulang cerita pemerkosaan tersebut karena itu berarti korban harus mengingat lagi peristiwa yang menakutkan dan menghancurkan hidupnya.

Begitulah cara kami berdialog. Setiap kali satu kertas habis, dia minta korek dan membakar kertas itu di kamar mandi. Ketahuan bahwa bapak ini korban yang keluarganya habis ditumpas. Juga harta bendanya. Tinggal baju yang melekat di badan saja. Dia tidak berani mengingat saat-saat kejadian, pelakunya, bahkan  tempat  tinggalnya.

Trauma yang begitu mendalam ditangkap Romo Sandy dari salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Kenangan berdarah  rezim ini sangat mengganggu psikologis korban, ujarnya saat di wawancarai oleh wartawan majalah D&R, 20 Juni 1998.  Tidak sedikit korban yang gila bahkan memutuskan untuk bunuh diri.

Romo  Sandy,relawan dari Tim Relawan Kemanusiaan beberapa kali diteror dan diancam akan dibunuh oleh sekelompok orang yang berbadan kekar. Hal itu membuat relawan yang lainnya memilih untuk bungkam

Peristiwa Mei 1998 adalah sebuah tragedi. Kisah perjuangan di dalam sejarah Indonesia harus melalui pintu sesak yang hampir-hampir mungkin terlupakan. Hingar bingar Soeharto lengser meminggirkan tragedi Mei 1998 yang merupakan kekerasan kolosal dahsyat menjelang akhir milenium II. Walau Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan seperti Megawati, tetapi Presiden perempuan seperti Megawati tidak mau  angkat bicara, dan tidak menjadikan  tragedi Mei 1998 sebagai perhatian penting.

Setelah Orde Soeharto berakhir dan digantikan para pemimpin berikutnya, tidak ada upaya negara untuk membongkar peristiwa yang menimpa orang Cina. Bukanlah kesan yang salah senadainya Orde Pasca Seoharto dinilai masih mengikuti warisan lama, adat Orde Soeharto yang membiarkan rakyat menjadi korban, dan pembiaran ini merupakan sebuah kesengajaan karena kebijakan politik yang dihasilkan negara justru bersikap dingin atas jatuhnya korban. Tidak cukup menjadi korban, stigma pun harus ditempelkan atas diri korban sebagai pelengkap penderitaan mereka.

12 tahun berlalu, sampai sekarang pengungkapan kasus belum juga dilakukan.  Kasus itu hilang dan seolah tidak ada kejadian apa apa di sana. Jika tidak ditindak lanjuti, peristiwa seperti ini akan terus terulang kembali.



PENULIS:
ANGELIQUE M. CUACA

FAKTOR PENDORONG MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL

sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2010tertuang dalam sebuah tugas akhir
SKRIPSI: PERILAKU PEKERJA SEKS KOMERRSIAL (PSK)
TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL (PMS)
DI TEMPAT HIBURAN MALAM (THM) MAKASAR TAHUN 2010






  • Ringkasn Latar Belakang
Profesi pekerja seks komersial selama ini selalu diidentikkan dengan seks perempuan, meski pada kenyataannya sekarang ini kaum laki-laki juga mulai merambah profesi ini.

Berdasarkan hasil survei Dinas Sosial tahun 2008 jumlah pekerja seks komersial yang berhasil didata sebanyak 112 orang. Data-data ini didapat dari germo atau mucikari yang sengaja mempekerjakan para wanita tersebut.

Kepala bagian rehabilitas sosial di kantor Dinas Sosial menuturkan jumlah pekerja seks yang mereka dapat hanya sebagian kecil dari jumlah pekerja seks yang ada di kota Makasar, dan jumlah ini belum termasuk para pekerja ditempat karaoke yang punya pekerjaan sampingan sebagai PSK. Pihaknya pun mengaku sangat susah mendapatkan informasi mengenai keberadaan para pekerja seks yang lain (Dinas Sosial Kota Makasar, 2008).

Seseorang yang memutuskan menjadi pelacur sebenarnya bukan tujuan utama mereka dalam hidup, melainkan sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai tujuan lain yang lebih utama, karena mereka tidak pernah bercita-cita menjalani profesi sebagai penjaja seks dan mau menjalani profesinya karena berbagai faktor.



Tinjauan tentang Pekerja Seks Komersial (PSK)

  •  Definisi
Menurut Koentjoro dan Sugihastuti pelacur adalah orang yang melacurkan diri atau menjual diri. Istilah pelacur dianggapnya lebih tepat dengan wanita tuna susila (WTS) dan pekerja seks komersial (PSK), karena:
  1. Arti pelacur baik secara denotatif dan konotatif lebih lengkap dan spesifik dan dapat memberikan makna ganda.
  2. Tidak semua pelacur adalah pekerja seks komersial
  3. Istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan (Destiani, 2008).

  • Faktor Pendorong Menjadi Pekerja Seks Komersial
Penyebab pelacuran yang terjadi sebenarnya sangat kompleks seperti hubungan dalam keluarga yang tidak baik, pendidikan rendah, kemiskinan, masa depan tidak jelas, tekanan penguasa (diskriminasi), hubungan seksual terlalu dini, pergaulan bebas kurang penanaman nilai-nilai agama serta perasaan dendam dan benci kepada laki-laki.

Hasil study Convention Watch Program wanita Indonesia menunjukan bahwa berdasarkan kasus-kasus yang terungkap diberbagai perusahaan dan industri, diskriminasi masih terjadi yaitu:

  1. Dalam mendapatkan hak perempuan atas kesempatan kerja yang sama dengan pria, kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan.
  2. Dalam hal mendapatkan upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilainya.
  3. Dalam menikmati hak terhadap jaminan sosial.
  4. Hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
  5. Hak untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan karena menikah dan melahirkan, hak akan cuti haid dan cuti hamil (Sihite, 2007).

Menurut Rahayu masalah prostitusi merupakan masalah yang kompleks karena sangat berkaitan dengan tatanan nilai, norma agama dan budaya masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang wanita menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK), antara lain: kemiskinan, kebodohan, lapangan kerja yang terbatas (Rahayu, 2010).

Faktor lain yang menyebabkan perilaku seks bebas antara lain:
  1. Pergaulan: merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku kita. Maka jika seseorang mempunyai lingkungan pergaulan dari kalangan teman-teman yang suka melakukan seks bebas, maka dia juga bisa terpengaruh dan akhirnya ikut melakukan seks bebas.
  2. Pengaruh materi pornografi (film, video, internet dan sebagainya); Jika seseorang berulang kali mengakses materi pornografi, maka ini bisa mendorong terjadinya perilaku seks bebas.
  3. Pengaruh obat atau narkoba dan alkohol; Seseorang yang bebas dari pengaruh narkoba dan alkohol bisa berfikir jernih dan ini mencegah dia melakukan perilaku berisiko. Dalam keadaan dipengaruhi oleh narkoba dan alkohol, maka pemikiran jernih bisa menurun dan bisa mendorong terjadinya perilaku seks bebas.
  4. Kualitas hubungan suami-istri (bagi yang sudah menikah); Masalah dalam hubungan suami-istri, mendorong yang bersangkutan melakukan hubungan seks bebas (Sasongko, 2010).



Latar Belakang PSK

Hasil wawancara yang telah dilakukan didaptkan hasil bahwa alasan yang menyebabkan mereka (responden dengan rata-rata umur pada interval 16-20 tahun dengan latar belakang ada yang berasal dari keluarga yang tergolong mampu; ada PSK yang memiliki mobil dan ada yang masih Mahasiswa., dan ada yang memang berasal dari keluarga yang kurang mampu) berprofesi sebagai PSK yaitu karena latar belakanng keluarga, kecewa dengan laki-laki (ditinggalkan suami, kawin cerai), ada yang yatim piatu dan juga yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau kurangnya perhatian dari orang tua. Sebagian besar, orang tua dan keluarga mereka tidak tahu kalau mereka bekerja sebagai PSK. 

Hal ini dapat dilihat dari uraian informasi informan sebagai berikut: 
"Ededeh nda mau ka tanya ki deh. Na kira orang tuaku kerja di kios ka. Saya pernah bersuami, tapi pergi ki, nda tau kemana"(AD, 22 Thn)

 

"Papa aku itu dulu angkatan laut, Aku itu empat bersaudara. Cewek semuanya, aku yang nomor dua sekarang karena papa aku itu sudah meninggal ni lusa 40 harinya, makanya lusa itu aku ngga kerja dulu".(PYO, 28 Thn)

 

"Keluarga saya nda tau saya kerja disini, orang tua saya juga sudah meninggal. Ya saya kerja disini karena mau cari uang kan. Saya juga pernah bersuami tetapi saya cerai".(LN, 30 Thn)

 

"Kemungkinan orang kerja begini kan karena ada masalah pribadinya. Kaya sayakan, orang tua saya nda tinggal sama saya, mereka tinggalnya jauh, wiraswasta dan saya tinggal sendiri di Makassar".(WT, 27 Thn)

Pernyataan lain,
"Pernah ada kutanya, orang jawa, na bilang sudah Bede cari uang sekarang, makanya lari ke Makassar, tapi kerja begini ji na dapat".(JCK, 31 Thn)
 
Informasi yang sama disampaikan oleh informan kunci yaitu salah satu pengelola Tempat Hiburan Malam (THM) tentang latar belakang mereka berprofesi sebagai PSK, berikut informasinya:
"Saya yatim piatu saya dibesarkan dipanti asuhan jadi tidak kenal orang tua saya. Anak buah saya kerja begini karena faktor ekonomi sih tidak semuanya ya. Bahkan ada anak buah saya yang punya mobil sendiri, ada mahasiswa juga. Mereka kerja begini karena ada kenikmatan tersendiri atau kepuasan".
(HN, 17 Thn)

  •  Simpulan
Dengan latar belakang yang berbeda, faktor pendorong menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) bukanlah semata mencari nafkah saja. Kurangnya kasih sayang dari orang-orang terdekat dapat menyebabkan seseorang merasa terasingkan bahkan sekalipun berlatar belakang ekonomi di atas rata-rata seseorang memilih terjun ke dalam profesi pekerja seks komersial karena merasa telah memperoleh rasa kasih sayang, mencapai kepuasan emosi maksimal saat bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial.




Next article: PSK vs PMS 







Tentang Peneliti





ANGANKU BUKAN ANGANMU

Banyak harapan akan sesuatu yang lebih dan mungkin untuk hal-hal yang belum kita raih pada saat kita berdiri di suatu titik menuju ke arah tujuan. Sebuah titik yang lahir dari proses panjang tercipta untuk mencari arti, Hidup! 

Semua waktu berlalu, indah maupun buruk, itu bukan masalah. Hiruk pikuk, hingar bingar, semuanya sedang terjadi sekarang dalam dunia yang terus berputar.


Aku, dunia, dan angan.

Letih sudah terasa akan angan yang kusebut mimpi, samar, saat itulah mentari pagi terabaikan dan dia membiarkanku terlelap, merasakan bumi berhenti. 


(Hidup adalah problematika, estetika tercampak oleh hati yang dirasuk racun modernisasi; egoisme dan keserakahan. Dan terlelap adalah momen damai terindah dimana berupa-rupa angan tercipta dan tercapai. Ya! Bumi harus terus tetap berhenti. Ya, harus! Ya, akan kuteriakan matahari harus ber...hen.....)


Titisan amarah sang surya menerobos dinding,  menyengat kulit, menerpa dahaga, .....panas, .....keringat. Bangun, bangun....!

Duniapun terasa berputar lagi....
Aku melangkah-menyebrangi pintu seperti badai di kepala dan sayup mataku mencoba berpaling dari teriknya dengan secuil senyuman sembari menarik napas dalam-dalam berbisik : Hallo, selamat berhari Minggu Matahari.

Sunyi dalam kesendirian; di saat semua orang bepergian menikmati liburan namun aku masih betah berkencan dengan laptop, per sekian detik terbahak tersipu menutup pilunya diriku akan angan.
Menyendiri; jalan pintas menuju intropeksi diri yang tepat oleh karena bisikan-bisikan mereka dikategorikan setan bagi sang nurani....


.............perlahan bangkit merasa diri tangguh tetap pada angan yang mereka tertawakan. Lagipula bukanlah angan mereka, bukan pula anganmu tetapi anganku!

Lagi, melangkah keluar menebar tegar pada ombak yang meliuk merayu kepalaku, dengan tegak menatap matahari perlahan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan penuh gairah, dan akupun merasa lebih tinggi darinya. 

Namun semua itu adalah sisi baiknya saja. Karena matahari begitu lama mengitari bumi maka banyak halpun yang jauh lebih berani dari keberanian sang nurani dalam mengisi ruang kepalaku. Aku sebut itu adalah duniawi, banyak hal yang terjadi mengguncang zona kenyamanan, entah apa alasannya yang pasti hidup penuh misteri.

Ada saat dimana aku merasakannya, penyakit di kepalaku, aku tahu dan sadar akan itu tapi lima tahun berlalu hidupku masih seperti ini; setiap hari terasa sama selama lima tahun, aku bahkan tidak tahu harus bagaimana; mencari jalan keluar ataukah membiarkannya saja terus menari dalam hidupku?

Aku merasa hidupku adalah mimpi dan mimpiku hidup dalam kehidupanku namun tidak pernah menjadi nyata; aku hidup dalam mimpi dan hidupku menjadi beban di kehidupan selanjutnya, dengan mimpiku dalam kehidupan selanjutnya itu aku bisa mengubur hidupku di hari kemarin.
(Hidup itu berkesinambungan, esok hari adalah apa yang kita lakuakan di hari ini dan esok hari tidak akan berjalan mulus jika apa yang menjadi hari ini tidak kita lewati dengan benar) 


"Aku menginginkan hari esok tanpa melewati hari ini." 

Sesuatu yang begitu rumit bahkan kata-kata tidak dapat mendeskripsikannya dengan tepat, namun yang pasti aku adalah mimpiku.


Di enam tahun silam:
Manusia paling puitis hingga rumah berdinding puisi,  manusia yang dipenuhi keindahan akan optimisme tinggi, buku? layaknya ayunda yang menari-nari menarik hati, hidup penuh inspirasi akan cinta, dan aturan adalah cinta sejati yang tak bisa tergantikan.
Itulah aku. "Aku, James Kartz, sang pujangga yang haus akan bintang." Sejumlah prestasi begitu mudah untuk dipetik, giat dan fokus pada apa yang diinginkan adalah kunci utamanya, tapi hidup harus pada pola yang sehat untuk menghindari stress atau hal-hal yang menghambat suksesnya sebuah keinginan.
Kekuranganku adalah disetiap kata yang terucap dari mulut sang Ayah, benar salahnya kembali ke aturan "Hormatilah orang tuamu", cuma satu hal yang sering menjadi perdebatan yaitu Aku di antara keinginan ayahku dan cita-citaku.


Di hari ini tak lekas ingatanku akan enam tahun silam dimana keinginan ayahku adalah hidupku saat ini hanya karena sebuah aturan tertanam dan tumbuh menjadi kuat. Ingin rasanya kembali, mencabut aturan itu sebelum aku mulai menjalani hidup atas dasar keinginan ayah karena yang kuderita ini sungguh membingungkan, namun semuanya telah terjadi. "Ayah, anganmu bukan anganku."


(Penyesalan bukanlah sesuatu yang baik dan segera harus dihilangkan, apa yang sedang terjadi bukanlah sesuatu yang perlu ditanyakan tetapi jadikan itu sebagai acuan untuk mencari solusi.)

Itu adalah intropeksi yang lumayan bagus, namun matahari telah pergi dan sang rembulan segera melayang tegak di atasku dan akupun beranjak terbang.
Segeraku menutupi hari dengan doa untuk harapan hari esok yang cera; sebuah tradisi anak rantauan tersadar akan segala kekurangan, "Tuhan? Aku tak mampu berjalan sendiri."

(Senja berirama; aku di suatu tempat di antara seluruh keindahan dunia, lantunan melodi berlirikan bait-bait puisi yang terpampang seperti berdinding kaca, inilah dambaanku, sejenak pejamkan mata, sekejap pula sesuatu muncul dari kejauhan; seperti gumpalan bintang yang kian dekat kian terbentuk, "oh sang dewi". "James Kartz, bangunlah, bangunlah. Hidup yang kamu jalani adalah mimpi ayahmu, juga semua yang kamu abaikan, namun itulah yang menjadi mimpimu sekarang untuk kamu jalani menjadi hidupmu yang seharusnya. Dan berusahalah menyatukan dua pribadi dalam dirimu", serunya.)
Dan seketika semuanya berubah menjadi pudar, dinding kaca yang tadinya dihiasi bait-bait puisi lenyap menjadi dinding tembok kamarku, akupun terbangun sambil monoleh ke arah jam dinding dalam kebingungan penuh tanya, jam lima pagi.

"Dua pribadi dalam diriku"
"Apa yang terjadi sebenarnya? Nyatanya aku adalah seorang diri, satu tubuh satu pribadi. Apa yang harus aku lakukan? Hidup dalam mimpi; menjalani mimpi dalam kehidupanku ataukah hidupi kehidupanku?"

Di antara dua pilihan, yang pasti harus memilih salah satu di antara dua.






                                                B  e  r  s  a  m  b  u  n  g. . . .
                                              see you on the next episod



Soundtrack: What's Up. PINK
















SKRIPSI: UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA SISWA DALAM MENGOMENTARI PERSOALAN FAKTUAL MELALUI METODE DISKUSI

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA SISWA DALAM MENGOMENTARI PERSOALAN FAKTUAL MELALUI METODE DISKUSI

SKRIPSI BAHASA INDONESIA: UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA SISWA DALAM MENGOMENTARI PERSOALAN FAKTUAL MELALUI METODE DISKUSI
Peneliti: Yulianus P. Abut


Skripsi untuk program studi Bahasa Indonesia dengan penelitian bertempat di Lelit, Satarmese Barat, Manggarai, Flores-NTT ini dilakukan terhadap siswa kelas V SDI Lelit pada tahun pelajaran 2014/2015.

Contoh skripsi program studi Bahasa Indonesia tentang kemampuan berbicara siswa dalam mengomentari persoalan faktual melalui metode diskusi.

Dalam skripsi ini akan dijelaskan beberapa hal berikut ini:
  1. Hakikat Berbicara (Pengertian berbicara, Jenis-jenis berbicara, faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara, aspek-aspek kemampuan berbicara, faktor penghambat keterampilan berbicara)
  2. Metode Pembelajaran
  3. Macam-macam Metode
  4. Metode Diskusi
  5. Jenis-jenis Metode Diskusi
  6. Pola Metode Diskusi
  7. Kelebihan dan Kekurangan Metode Diskusi
  8. Pada bab IV, Hasil dan Pembahasan penelitian (Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Dalam Mengomentari Persoalan Faktual Melalui Metode Diskusi) yaitu; Kegiatan pra tindakan dan Data tindakan.

PERGANTIAN KEKUASAAN VOC KE PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA (1062-1799 )

Belanda di Indonesia pada mulanya bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Akan tetapi pada tahun 1602, Belanda mendirikan organisasi perkumpulan kongsi dagang yang berlayar di wilayah Hindia Belanda yang bernama Verenigde Oost Indische Compagnoe (VOC)

PERGANTIAN KEKUASAAN VOC DI INDONESIA

sejarah singkat VOC sejak tahun 1062 hingga tahun 1800

Kongsi dagang ini awalnya didirikan untuk menyaingi Portugis dan Spanyol yang telah lebih dulu bercokol di nusantara. Namun, dengan hak octroi yang dimiliki VOC, lambat laun VOC seolah menjadi Negara yang berdiri di bawah Negara induknya, Belanda. Hal ini berimbas pada perilaku pemerintahan VOC yang semena-mena melakukan perluasan kekuasaan dengan mengadu domba penguasa lokal. Kekuasaan VOC menjadi awal kolonialisme di Indonesia.


Secara singkat berikut akan disajikan aktivitas-aktivitas yang dilakukan VOC.

Sejarah singkat VOC
sejak tahun 1062 hingga tahun 1800 :

Abad ke 17

Pada bulan Maret 1602 Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang setahun kemudian berhasil membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Banten namun tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris. Sedangkan di kubu Inggris melakukan pelayaran pertamanya dan tiba di Aceh pada tahun 1602 yang kemudian dilanjutkan Sir Henry Middleton dan berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda namun mendapat perlawanan keras dari VOC.


Februari 1605 Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu. Dengan maksud memperluas daerah kekuasaannya VOC pada tahun 1609 membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan, namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa yang telah bekerjasama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.

Sejak tahun 1610 Ambon dijadikan sebagai pusat VOC yang dipimpin seorang gubernur jendral tetapi selama 3 (tiga) orang gubernur jendral pertama Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.

Pada tahun 1618 Banten dibawa pimpinan mengambil keputusan untuk menghadapi VOC dengan memaksa Inggris untuk membantu, namun pada tahun 1619 ketika VOC akan menyerah pada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten menghalangi maksud Inggris. Karena Banten tidak mau pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya; Banten menduduki kota Batavia.

Kekosongan kekuasaan yang terjadi di Banten setelah Inggris memukul mundur VOC yang kemudian Inggris diusir oleh masyarakat Banten sendiri menjadikan Belanda kembali ingin menguasai Banten dan pada bulan Mei 1619 Jan Pieterszoon Coen, seorang Belanda, melakukan pelayaran ke Banten dengan 17 kapal. Pada bulan yang sama VOC mengambil keputusan untuk memberi nama baru Jayakarta sebagai Batavia.

30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen berhasil memukul mundur tentara Banten, lalu menjadikan Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, jauh dari Eropa.

Hasi kerja keras tersebut mendapat pujian dari pemerintah Belanda dengan ditunjuknya Jan Pieterszoon Coen sebagai gubernur jendral VOC akan tetapi selama masa jabatannya selalu menggunakan kekerasan untuk memperkokoh kekuasaan dan menghancurkan semua halangan yang merintangi. Dia menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.

Tahun 1619 terjadi migrasi orang Tionghoa ke Batavia. VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.

Atas dasar pertimbangan diplomatik di Eropa, pada tahun 1620 VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon. Pada tahun 1620, VOC membuang, mengusir bahkan membantai seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak dalam rangka mengatasi masalah penyelundupan di Maluku.

Kerjasama antara VOC dan Inggris yang baru berjalan selama 3 (tiga) tahun berakhir pada tahun 1623 akibat pembunuhan terhadap 12 agen perdagangan Inggris, 10 orang Inggris, 1 orang Jepang; 1 orang Portugis oleh pihak VOC. Banyak kemajuan yang telah dicapai Belanda di tahun 1630 dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.

Pada tahun 1637 VOC yang telah cukup lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting cengkeh. Penyelundupan cengkeh semakin berkembang lalu muncul banyak komplotan-komplotan yang anti dengan VOC. Gubernur Jendral Antonio van Diemen melancarkan serangan terhadap para penyelundup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.

Di tahun berikutnya yaitu pada tahun1638, Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha membuat persetujuan dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas Seram dan Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real setiap tahunnya dengan imbalan bahwa penyelundupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal dan pada tahun 1643 Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan dalam perang yang dialami Ternate dengan memaksa raja Ternate ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.

Tahun 1656 seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang dan semua tanaman rempah-rempah di Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami manusia kecuali jika ekspedisi Hongi (armada tempur) melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.

Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang Gowa, menghancurkan kapal-kapal Portugis pada tahun 1660 dan pada Agustus-Desember 1660 memaksa Sultan Hasanuddin (raja Gowa) untuk menerima persetujuan perdamaian dengan VOC dan persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan sehingga pada tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.

Pada April 1668 dan Juni 1669 VOC berhasil dalam serangan besar-besaran terhadap Goa dan setelah kejadian itu perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.

Pada tahun 1670 VOC berhasil melakukan konsolidasi kedudukannya di Indonesia Timur dan masih menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi kekuatan para pemberontak yang dihadapi tidak begitu besar.

Pada tahun yang sama VOC menebang tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung halamannya, banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu yang tewas adalah seolah-olah demi mencapai tujuan VOC dalam memonopoli rempah-rempah.

Dan pada tahun 1674 Pulau Jawa dalam keadaan yang memprihatinkan; kelaparan merajalela, berjangkit wabah penyakit, gunung merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.

Pada tahun 1680, di Jawa Barat, kerajaan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya yaitu merupakan daerah pengahasil lada terbanyak serta memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa, kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara.

Atas bantuan pihak Inggris, Denmark, dan Tiongkok maka orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Di pihak lain, VOC, hanya menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Jawa karena daerah pegunungan sulit untuk dikuasai dan sering dijadikan tempat persembunyian pemberontak. Pemberontakan sering terjadi pada tahun tersebut sehingga mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.


Pada tahun 1682 pasukan VOC di bawah pimpinan Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju Banten dengan tujuan untuk menguasai perdagangan di Banten dan hasilnya VOC bisa merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir sedangkan orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan merupakan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.

Selama kurun waktu 1683-1710 VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat di wilayah Asia. Di antara 23 kantornya hanya tiga (Jepang, Surakarta dan Persia) yang mampu memberikan keuntungan; sembilan kantor lainnya menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa.

VOC banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi akibat pemberontakan di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efisien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.

Pada tahun 1684, Gubernur Jendral Speelman meninggal sehingga terbongkarlah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan karena konon Speelman memerintah tanpa menghiraukan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan.

Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90% dan monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua peninggalan Speelman disita negara.

Pada tanggal 8 Februari 1686 terjadi pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya François Tack dengan dua puluh luka di tubuhnya dan pada tahun 1690 Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.


Abad ke-18

Pada tahun 1702 jumlah kekuatan serdadu militer Belanda yang berkebangsaan Eropa hanya tinggal sedikit dan keberadaan orang-orang Tionghoa di Batavia semakin meningkat hingga tahun 1721.

Pada tahun 1727 posisi ekonomi orang Tionghoa semakin penting bagi pihak-pihak tertentu namun mereka sering menyebabkan kejahatan dan menimbulkan perasaan tidak senang. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan warga bebas serta kolonis-kolonis Belanda yang tidak dapat menandingi orang Tionghoa sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa permusuhan dan sikap rasialis terhadap orang Tionghoa. Mengatasi hal tersebut, pada tahun yang sama, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.

Namun dua tahun setelah pengusiran orang-orang Tionghoa, pemerintah Belanda kembali membuka pintu bagi orang-orang Tionghoa yang masih menginginkan bagi mereka yang ingin kembali ke Indonesia dan memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.

Pada tahun 1740 Terjadi penangkapan terhadap orang Tionghoa, tidak kurang 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa. Pada tanggal 4 Februari 1740 Segerombolan orang Tionghoa melakukan pemberontakan dan penyerbuan pos penjagaan untuk membebaskan bangsanya yang ditahan.

METODOLOGI PENELITIAN SEJARAH


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang dilakukan penulis dalam menyusun tugas akhir ini dimulai dari bulan September sampai dengan bulan Januari di perpustakaan Nasional, perpustakan UI, dan perpustakaan Universitas Indraprasta, dimana dalam melakukan penelitian ini ada beberapa tahap yang dilakukan oleh penulis dimulai dari pengumpulan data dan analisis data serta pengujian data hingga evaluasi data.

Di bawah ini akan digambarkan kegiatan dan waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis.

No.
Jenis Kegiatan
Bulan
September Oktober November Desember Januari
1 Pengajuan Judul ü
2 Penyusunan Proposal ü
3 Pengajuan Proposal ü
4 Heuristik ü ü ü
5 Verifikasi ü ü ü
6 Interpretasi ü ü ü
7 Historiografi ü ü ü


B. Metode Sejarah
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode yang teknis penulisannya tidak terlepas dari cara-cara untuk menghimpun dan mengolah sumber-sumber atau bahan-bahan yang menjadi materi yang digunakan oleh penulis. Metode tersebut diantaranya:

1. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan menghimpun sember-sumber sejarah yang berupa dokumen atau arsip, buku, majalah, surat kabar, jurnal dan seterusnya. Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang suatu kegiatan manusia pada masa lampau, perlu diketahui bahwa sumber-sumber sejarah tersebut masih merupakan bahan mentah (raw materials) bagi penulis sejarah. (Sjamsudin, 199:72-73). Dalam tahap ini penulis mencari sumber sejarah berupa dokumen atau arsip, buku-buku sejarah dan jurnal. Disamping itu penulis mencari informasih yang memiliki korelasi dengan topik yang diakses internet.

2. Kritik/Verifikatif
Verifikatif adalah pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber yang dimaksudkan. Langkah ini memerlukan suatu kritik sumber untuk memilih dan memilah sumber yang ada secara kritis demi mendapatkan kebenaran (truth). Dengan menggunakan kritik sumber diharapkan karya sejarah merupakan peroduk dari suatu prose ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kritik sejarah dalam metode verifikatif meliputi (2) macam, yaitu aspek eksternal dan kritik internal (Arif, 2011: 37-38).

a. Kritik Eksternal
Merupakan suatu cara melakukan pengujian terhadap aspek luar suatu sumber sejarah. Kritik eksternal pada dasarnya merupakan suatu penelitian atas asal usul suatu sumber sejarah untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin ada dan untuk ,memgetahui apakah sumber sejarah yang dimaksudkan telah berubah dari aslinya.
Kritik Eksternal harus menegakan fakta dari kesaksian bahwa:
1) Kesaksian itu benar-benar diberi oleh orang tertentu pada waktu tertentu (autencity).
2) Kesaksian yang diberikan tetap bertahan tanpa ada perubahan ( uncorupted)
3) Kesaksian yang diberikan tidak mengalami penambahan atau penghilangan yang substansial (intergrity)

b. Kritik Internal
Setelah fakta kesaksian (fact of testimony) ditegakkan melalui kritik eksternal maka dilakukan evaluasi terhadap isi fakta tersebut agar dilakukan bahwa fakta kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Dalam mencapai hal itu peneliti harus melakuakan dua penyelidikan yang berkenaan, yaitu untuk:
1) Mengetahui arti sebenarnya dari kesaksian sejarah yang ada dan harus dipelajari, kerena mustahil peneliti dapat mengevaluasi suatu kesaksian jika tidak memahami apa yang dimaksudkan.
2) Kredibilitas saksi sejarah, bahwa peneliti harus yakin saksi memiliki kapasitas mental, kesempatan mengamati serta mendapatkan pemahaman yang besar mengenai peristiwa sejarah tersebut.

3. Interpretasi
Fase ketiga peneliti berusaha memahami arti atau makna yang dikandung oleh sumber yang ditemukan atau dengan kata lain peneliti melakukan penafsiran terhadap sumber sejarah. Terkait dengan beberapa faktor atau tenaga pendorong adanya sejarah, terdapat beberapa macam penafsiran, tapi dalam hal ini peneliti menggunakan penafsiran sosiologi dan penafsiran sintensis.

a. Penafsiran Sosiologi
Penafsiran ini melihat asal usul, struktuk dan kegiatan masyarakat manusia dalam iteraksi dengan lingkungan fisiknya dalam suatu proses pristiwa sejarah. (Arif, 2011: 40).

b. Penafsiran sintetis
Penafsiran ini mencoba menghubungkan semua faktor atau tenaga yang menjadi penggerak sejarah. Menurut penafsiran sistentis, tidak ada satu kategori “sebab–akibat” tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan periode perkembangan sejarah.

4. Historiografi
Historiografi adalah hasil dari suatu penelitian yang dituangakan dalam suatu penulisan yang bersifat utuh dan sintetis, saat melakukan tahapan ini sesungguhnya peneliti meggerahkan seluruh daya dan pikiranya bukan saja dalam berkaitan dengan keterampilan teknik dalam mengutip dan membuat catatan, melainkan juga menggunakan pikiran kritis dan analisis.
Pada dasarnya menulis suatu karya sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan sekaligus merupakan suatu cara memahami peristiwa sejarah. Fase ini sangat penting dan sangat tepat digunakan dalam peneliti yang mencoba merekontruksikan masa lampau secara sistematis dan objektif dengan berpihak kepada bukti-bukti sejarah yang telah ditemukan. Selanjutnya dipaparkan dalam bentuk skripsi, sehingga dipahami oleh pembaca.


PERADABAN MODERN VS EKSISTENSI MANUSIA

Diambil dari Thesis: 
EKSISTENSI MANUSIA DAN HUBUNGAN ANTARPRIBADI BERDASARKAN EKSISTENSIALISME GABRIEL MARCEL DALAM NOVEL ASSASSIN'S CREED REVELATIONS: SEBUAH KAJIAN SEMANTIK DENGAN ANALISIS ISI




Di balik segala kemajuan dan kemegahannya, zaman modern ternyata menyimpan "bahaya-bahaya" yang dapat merendahkan martabat manusia. Bahaya-bahaya tersebut juga dapat merusak hubungan antar manusia.

Teknologi yang merupakan ciri peradaban modern mempunyai dua sisi: positif dan negatif.

Dikatakan positif, karena teknologi secara objektif dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.

Teknologi dinilai negatif, karena menimbulkan pelbagai dampak negatif yang merugikan hidup manusia. Dampak ini dapat dilihat pada fakta bahwa mesin-mesin perang telah diciptakan manusia untuk satu tujuan, yaitu untuk memusnahkan kehidupan. Dampak negatif lainnya adalah munculnya mentalitas teknokratik dan abstraksi akibat peradaban modern yang semakin dikuasai oleh teknologi.

Prihal dampak negatif ini, Roger Bacon (1214-1294) jauh-jauh hari sudah mengingatkannya: rahasia ilmu pengetahuan tidak harus selalu disampaikan kepada semua tangan, karena ada yang bisa menggunakannya untuk tujuan yang tidak baik (Giesler, 2000: 237). Kedua mentalitas yang merasuki orang-orang modern itu telah mengacaukan hubungan-hubungan sejati antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan dirinya sendiri, dan antara dia dengan sesamanya.

Pertama, peradaban teknologi telah membentuk dalam diri manusia mentalitas teknokratik. Mentalitas ini mewujudkan diri dalam dua bentuk semangat: utilitarisme dan fungsionalisasi. Utilitarisme adalah semangat untuk mencari keuuntungan yang sebanyak mungkin dan menghindari kerugian sekecil mungkin. Paham seperti ini telah merasuk ke dalam mentalitas orang-orang modern. Pada zaman di mana teknologi maju menjadi  tulang punggung bagi kehidupan ekonomi, setiap orang cenderung mencari dan mengeruk manfaat yang sebanyak mungkin dari suatu objek. Objek yang dijadikan sasarannya bisa berupa alam semesta dan sesama manusia.

Tentu tidak menjadi masalah kalau teknik-teknik yang ada pada teknologi dipakai untuk memanipulasi alam: mengolah alam sedemikian rupa sehingga manusia dapat mengambil manfaat-manfaat daripadanya. Tetapi masalah muncul ketika nafsu manusia untuk mengeksploitasi alam bisa menjadi tak terkendali. Itulah yang terjadi dan masih terus terjadi. Orang tidak bisa lagi melihat nilai-nilai religius dan estetis pada alam semesta, selain hanya melihatnya sebagai objek yang harus dikuras habis. Henry Binswanger, salah seorang atheis dan tokoh ekologi, menilai bahwa manusia modern telah memperkosa lingkungan alam dengan bersembunyi di balik alasan mulia, kesejahteraan masyarakat. Sesungguhnya, teknologi bertujuan untuk memuliakan alam semesta dengan memanfaatkannya secara jujur (Giesler, 2000: 375).

Semangat seperti ini tidak hanya merasuki jiwa manusia dalam mengolah alam. Nafsu yang sama juga merembet ke lapangan pergaulan antar manusia. Gejala ini tampak paling jelas dalam dunia pekerjaan. Tidak jarang terjadi, nilai dan harga diri manusia diukur menurut jumlah prestasinya. Prestasi orang dalam bekerja akan dilihat sejauh mana ia bisa bekerja secara efektif, cepat, efisien dan memenuhi target. Kenyataan seperti ini telah menampilkan fakta: manusia makin lama makin dibendakan sebagai mesin-mesin. Dari mesin-mesin orang memang bisa mengharapkan hasil dalam jumlah tertentu pada kurun waktu tertentu seperti yang telah direncanakan. Sebuah mesin dihargai sejauh masih dapat memberikan manfaat bagi manusia. Bila tidak, mesin tersebut akan dibuang atau dibesituakan.

Hal seperti ini juga terjadi pada diri manusia. Bila seseorang sudah tidak bisa lagi memberikan servis yang memuaskan sebagaimana dituntut oleh jenis pekerjaannya, tidak jarang terjadi, ia dipecat atau diberhentikan dengan hormat dari pekerjaannya. Tendensi membina hubungan dengan orang lain dengan maksud hanya mencari untung jelas menjauhkan kemungkinan bagi suatu cita-cita membentuk komunitas manusia berdasarkan cinta.

Mentalitas teknokratik juga muncul dalam bentuk fungsionalisasi, yaitu tendensi untuk memperlakukan orang lain sesuai dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Fungsi yang dimiliki seseorang dalam pekerjaannya seringkali menjadi faktor utama yang mempengaruhi pola-pola interaksi dan komunikasinya dengan orang lain. Dalam masyarakat umum pun terjadi hal demikian. Setiap orang cenderung diperlakukan menurut jabatan atau fungsi yang dimilikinya dalam seluruh tatanan sosial masyarakat. Inilah gejala fungsionalisasi. Dalam fungsionalisasi, manusia direduksi menjadi suatu fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsi inilah yang akhirnya menentukan bagaimana ia akan diperlakukan oleh orang lain dalam dunia pekerjaan maupun dalam masyarakat.

Tendensi untuk memperlakukan orang lain hanya menurut fungsi-fungsi saja itu mengartikan, minat orang makin lama hanya terpusatkan pada fungsi yang dimiliki orang lain dan bukan pada aspek pribadinya. Hubungan-hubungan antar manusia berlangsung hanya pada taraf fungsional saja. Hubungan-hubungan seperti ini tidak akan pernah bisa mendalam. Bahkan, pola relasi yang bersifat fungsional ini sifatnya sangat alienatif. Pada setiap relasi fungsional, aspek pribadi tak diperhatikan atau bahkan tersisihkan. Akhirnya pola hubungan fungsional membawa manusia pada suatu tahap di mana setiap orang menjadi anonim satu sama lain. Setiap orang menjadi objek bagi yang lain sehingga pribadi manusia terasingkan. Di sini terjadi, hubungan tersebut sama sekali tidak melibatkan unsur partisipasi apapun.

Kedua, peradaban teknologi telah menjebak manusia dengan membawanya pada sikap yang hanya terpaku pada abstraksi saja. Abstraksi dilukiskan sebagai suatu kerja atau aktivitas mental yang membantu manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud adalah penguasaan dan pemahaman akan suatu hal. Dalam setiap abstraksi selalu ada proses di mana subjek memisahkan diri dari objek unsur-unsur yang bersifat umum dari unsur-unsur yang bersifat khusus. Dengan demikian, subjek akhirnya dapat memperoleh gambaran umum mengenai objek tersebut.

Dalam menjalankan proses abstraksi, orang bisa jatuh pada perangkap, yaitu masuk pada apa yang disebut semangatt abstraksi. Hal itu terjadi bila mana subjek mulai melalaikan kondisi-kondisi objektif yang melekat pada objek dan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat umum saja.

Orang bisa terjebak untuk hanya mementingkan salah satu kategori saja dalam memandang dan memahami suatu objek. Semangat abstraksii telah menjebak kaum Marxis yang mereduksi manusia hanya pada salah satu faktor kehidupannya saja: segi ekonomis. Hal yang sama telah mempengaruhi cara berpikir orang modern. Orang modern cenderung memandang dirinya dan sesamanya bukan lagi sebagai pribadi yang unik dan mandiri, malainkan lebih sebagai bagian dari suatu massa yang anonim dan umum. Konsep massa merupakan suatu abstraksi yang bersifat anonim dan umum karena tidak pernah jelas siapa yang mau ditunjuk dengan konsep itu. Massa adalah semua orang pada umumnya. Itu berarti realitas kedirian manusia yang unik semakin terlalaikan. Manusia dipandang semata-mata sebagai hal yang sifatnya impersional. Karena itulah, semangat abstraksi merupakan ancaman serius yang membahayakan hubungan sejati antarmanusia. Tendensi melalaikan aspek pribadi seseorang mau tak mau menutupi kemungkinan bagi suatu perjumpaan antarpribadi.



Mengenai Penulis: 



SALESIUS
 GAMPUR

SKRIPSI JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA TENTANG ANALISA DAN PERANCANGAN SISTEM

CONTOH SKRIPSI JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

SKRIPSI JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA TENTANG ANALISA DAN PERANCANGAN SISTEM
Peneliti: Yerim Joman

Skripsi ANALISA DAN PERANCANGAN SISTEM ini saya upload teruntuk mahasiswa program studi Teknik Informatika sebagai bahan acuan untuk penelitian yang akan dilakukan.

Skripsi dengan judul ANALISA DAN PERANCANGAN DATA YANG DIAJUKAN ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI Jakarta angkatan 2012/2013.

Untuk membaca keseluruhan isinya, skripsi ini tersedia di perpustakaan Universitas Indraprasta PGRI Jakarta.