ANGANKU BUKAN ANGANMU
Banyak harapan akan sesuatu yang lebih dan mungkin untuk hal-hal yang belum kita raih pada saat kita berdiri di suatu titik menuju ke arah tujuan. Sebuah titik yang lahir dari proses panjang tercipta untuk mencari arti, Hidup!
Semua waktu berlalu, indah maupun buruk, itu bukan masalah. Hiruk pikuk, hingar bingar, semuanya sedang terjadi sekarang dalam dunia yang terus berputar.
Aku, dunia, dan angan.
Letih sudah terasa akan angan yang kusebut mimpi, samar, saat itulah mentari pagi terabaikan dan dia membiarkanku terlelap, merasakan bumi berhenti.
(Hidup adalah problematika, estetika tercampak oleh hati yang dirasuk racun modernisasi; egoisme dan keserakahan. Dan terlelap adalah momen damai terindah dimana berupa-rupa angan tercipta dan tercapai. Ya! Bumi harus terus tetap berhenti. Ya, harus! Ya, akan kuteriakan matahari harus ber...hen.....)
Titisan amarah sang surya menerobos dinding, menyengat kulit, menerpa dahaga, .....panas, .....keringat. Bangun, bangun....!
Duniapun terasa berputar lagi....
Aku melangkah-menyebrangi pintu seperti badai di kepala dan sayup mataku mencoba berpaling dari teriknya dengan secuil senyuman sembari menarik napas dalam-dalam berbisik : Hallo, selamat berhari Minggu Matahari.
Sunyi dalam kesendirian; di saat semua orang bepergian menikmati liburan namun aku masih betah berkencan dengan laptop, per sekian detik terbahak tersipu menutup pilunya diriku akan angan.
Menyendiri; jalan pintas menuju intropeksi diri yang tepat oleh karena bisikan-bisikan mereka dikategorikan setan bagi sang nurani....
.............perlahan bangkit merasa diri tangguh tetap pada angan yang mereka tertawakan. Lagipula bukanlah angan mereka, bukan pula anganmu tetapi anganku!
Lagi, melangkah keluar menebar tegar pada ombak yang meliuk merayu kepalaku, dengan tegak menatap matahari perlahan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan penuh gairah, dan akupun merasa lebih tinggi darinya.
Namun semua itu adalah sisi baiknya saja. Karena matahari begitu lama mengitari bumi maka banyak halpun yang jauh lebih berani dari keberanian sang nurani dalam mengisi ruang kepalaku. Aku sebut itu adalah duniawi, banyak hal yang terjadi mengguncang zona kenyamanan, entah apa alasannya yang pasti hidup penuh misteri.
Ada saat dimana aku merasakannya, penyakit di kepalaku, aku tahu dan sadar akan itu tapi lima tahun berlalu hidupku masih seperti ini; setiap hari terasa sama selama lima tahun, aku bahkan tidak tahu harus bagaimana; mencari jalan keluar ataukah membiarkannya saja terus menari dalam hidupku?
Aku merasa hidupku adalah mimpi dan mimpiku hidup dalam kehidupanku namun tidak pernah menjadi nyata; aku hidup dalam mimpi dan hidupku menjadi beban di kehidupan selanjutnya, dengan mimpiku dalam kehidupan selanjutnya itu aku bisa mengubur hidupku di hari kemarin.
(Hidup itu berkesinambungan, esok hari adalah apa yang kita lakuakan di hari ini dan esok hari tidak akan berjalan mulus jika apa yang menjadi hari ini tidak kita lewati dengan benar)
"Aku menginginkan hari esok tanpa melewati hari ini."
Sesuatu yang begitu rumit bahkan kata-kata tidak dapat mendeskripsikannya dengan tepat, namun yang pasti aku adalah mimpiku.
Di enam tahun silam:
Manusia paling puitis hingga rumah berdinding puisi, manusia yang dipenuhi keindahan akan optimisme tinggi, buku? layaknya ayunda yang menari-nari menarik hati, hidup penuh inspirasi akan cinta, dan aturan adalah cinta sejati yang tak bisa tergantikan.
Itulah aku. "Aku, James Kartz, sang pujangga yang haus akan bintang." Sejumlah prestasi begitu mudah untuk dipetik, giat dan fokus pada apa yang diinginkan adalah kunci utamanya, tapi hidup harus pada pola yang sehat untuk menghindari stress atau hal-hal yang menghambat suksesnya sebuah keinginan.
Kekuranganku adalah disetiap kata yang terucap dari mulut sang Ayah, benar salahnya kembali ke aturan "Hormatilah orang tuamu", cuma satu hal yang sering menjadi perdebatan yaitu Aku di antara keinginan ayahku dan cita-citaku.
Di hari ini tak lekas ingatanku akan enam tahun silam dimana keinginan ayahku adalah hidupku saat ini hanya karena sebuah aturan tertanam dan tumbuh menjadi kuat. Ingin rasanya kembali, mencabut aturan itu sebelum aku mulai menjalani hidup atas dasar keinginan ayah karena yang kuderita ini sungguh membingungkan, namun semuanya telah terjadi. "Ayah, anganmu bukan anganku."
(Penyesalan bukanlah sesuatu yang baik dan segera harus dihilangkan, apa yang sedang terjadi bukanlah sesuatu yang perlu ditanyakan tetapi jadikan itu sebagai acuan untuk mencari solusi.)
Itu adalah intropeksi yang lumayan bagus, namun matahari telah pergi dan sang rembulan segera melayang tegak di atasku dan akupun beranjak terbang.
Segeraku menutupi hari dengan doa untuk harapan hari esok yang cera; sebuah tradisi anak rantauan tersadar akan segala kekurangan, "Tuhan? Aku tak mampu berjalan sendiri."
(Senja berirama; aku di suatu tempat di antara seluruh keindahan dunia, lantunan melodi berlirikan bait-bait puisi yang terpampang seperti berdinding kaca, inilah dambaanku, sejenak pejamkan mata, sekejap pula sesuatu muncul dari kejauhan; seperti gumpalan bintang yang kian dekat kian terbentuk, "oh sang dewi". "James Kartz, bangunlah, bangunlah. Hidup yang kamu jalani adalah mimpi ayahmu, juga semua yang kamu abaikan, namun itulah yang menjadi mimpimu sekarang untuk kamu jalani menjadi hidupmu yang seharusnya. Dan berusahalah menyatukan dua pribadi dalam dirimu", serunya.)
Dan seketika semuanya berubah menjadi pudar, dinding kaca yang tadinya dihiasi bait-bait puisi lenyap menjadi dinding tembok kamarku, akupun terbangun sambil monoleh ke arah jam dinding dalam kebingungan penuh tanya, jam lima pagi.
"Dua pribadi dalam diriku"
"Apa yang terjadi sebenarnya? Nyatanya aku adalah seorang diri, satu tubuh satu pribadi. Apa yang harus aku lakukan? Hidup dalam mimpi; menjalani mimpi dalam kehidupanku ataukah hidupi kehidupanku?"
Di antara dua pilihan, yang pasti harus memilih salah satu di antara dua.
B e r s a m b u n g. . . .
see you on the next episod
Soundtrack: What's Up. PINK