CINTA YANG TAK HARUS MEMILIKI

kadang kita harus mencintainya tanpa harus memilikinya.

Dan

 “kamu akan selalu hidup di relung hatiku.

Dengan atau tanpamu.”



Aku ada di antara pucuk rembulan dan berakhir pada bangkitnya sang mentari. Bukan untuk sesuatu yang penting bagi kebanyakan orang untuk dilewati. Pula bukan untuk diisi dengan sesuatu yang tidak penting. Hanya untuk berkelana. Di antara pucuk rembulan dan mentari yang bangkit, aku mengambang.  

Aku selalu menyukai mentari pagi. Sinarnya menerpa dan menembus ke segala celah, menggugah eratan embun pada rimbunnya dedaunan pohon. Dan kemudian bagian terfavoritku datang. Sang mentari merebus embun-embun itu lalu mengumpulkannya menjadi segumpal tetesan dan dijatuhkannya pada selembar daun talas tepat di bawah dedaunan pohon, daun talas itupun kembali bangkit.

Waktu berlalu dan aku mulai menaruh benci pada mentari pagi, itu mengingatkanku akan semua momen dan memori indah, yang telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.

Sekarang, setiap kali kupandang sang mentari akulah satu-satunya yang mengkomplein tentang orang-orang terdekat pergi dari kehidupan kita.

Si daun talas turut merasakan yang kuderita tapi sang mentari terus memantauiku. 

Aku sadar begitu banyak orang yang mengalaminya tapi kita, manusia tidak akan memahaminya sampai itu menimpa kita.

Selama berhari-hari aku terus memperhatikan daun talas, tidak terlalu paham akan apa yang turut dirasakannya. Kemudian aku sadar bahwa mentari telah memiliki sisi lain, wajah lain dimana aku mendengar banyak hal tapi aku belum pernah melihatnya sampai sekarang. Sebuah wajah penuh kegelisahan dan depresi dan setiap aku memandangnya berubah menjadi lebih panas dan sangat panas.

Yang awalnya datang, kemudian berbagai kisah terlewati, pemberi arti hingga menjadi penyemangat hidup bahkan pemacu jantung untuk terus berdetak. Saat mereka yang kita cintai menjauh dari kehidupan, seperti luka yang membekas. Saat pertemuan berujung perpisahan namun masih meninggalkan begitu banyak janji menimbulkan segudang tanya “mengapa Engkau meninggalkan sekeping hati ini, yang mudah jatuh dan patah?”.

Semuanya berubah menyamar sebagai pencabut nyawa, nafas yang selalu tertahan akan sakitnya ditinggalkan, mata yang selalu tak tahu arah kemana harus menaruh tatapan hingga bayang-bayang mereka terlampir di dinding-dinding kokoh yang hampa. 

"Iya, aku tahu bahwa cinta itu ibarat merpati yang putih mulus dengan sayapnya yang kokoh bisa memeluknya kapan saja yang walaupun terkadang di balik sayap itu terselip duri yang bisa melukai kapan saja."

Sela waktu, pada hati yang masih membisu, berkutat mencari jawaban tentang semua ini, sang rembulan datang menyapa. Seolah meneriakiku yang lagi duduk dalam kegelapan, aku pun menoleh padanya dengan kerutan dahi penuh pilu. Tapi sesumbar senyumannya penuh rasa belas kasihan dan bergumam, entah tahu persis apa yang dikatakannya tapi dibelakangnya bintang-bintang membuntutinya dan menari di sekelilingnya. Setiap bintang memiliki ceritanya masing-masing untuk diceritakan. Kemudian sang rembulan mengumpulkan semua cerita itu dan diceritakannya kembali kepadaku.

“Kami mengingatkanmu bahwa dunia penuh keindahan. Laut dan samudera yang luas, gunung menjulang tinggi dan begitu banyak lainnya hingga langit disekelilingnya tempat kami menyapa makhluk-makhluk dalam kegelapan yang membutuhkan terang. Kau tahu, dunia ya tetap dunia. Ada masalah di dalamnya," sang rembulan bergumam beriringan dengan bintang-bintang yang muncul hilang satu persatu. Setiap bintang benderang, sang rembulan mendekatinya, kemudiaan ia melanjutkan cerita yang berbeda.

“lelaki seperti apa yang tidak mampu memperbaiki masalah dunia?”

“di belahan dunia lain dari duniamu ada seseorang disana yang bangkit dari kematian lalu mengubah dunia. Kami tahu, bagaimana kau bisa mempercayainya? Dia seorang ahli pedang yang mati dalam kepiluannya terhadap dunia yang begitu kejam dan kemudian bangkit berdiri layaknya seorang ksatria. Kau pasti tahu banyak tentang ksatria di belahan duniamu, mereka yang membela kaum lemah dan kadang menyingkirkan yang benar demi kenyamanan orang banyak agar hidup saling berdampingan dalam kedamaian. Balian, ya Balian namanya. Dialah yang menyerahkan Yerusalem (kota yang dicintai dan diagung-agungkan semua orang Kristiani, Yahudi, dan Muslim) kepada Saladin demi nyawa-nyawa tersisa dari perang. Merelakan yang dicintai untuk menggali kehidupan lain dari hidup yang tersisa.”

Sedikit mulai terharu oleh cerita sang rembulan, sedikit risih, kisah cinta dibandingkan dengan sebuah perang.

“Sebenarnya, rembulan, hei? Baik Balian maupun Saladin, merekalah yang menciptakan perang. Menciptakannya demi Tuhan. Sedangkan Tuhan tidak menginginkannya. Dan masalahku, bukanlah aku yang memulai perang antara dua hati, hanyalah dia yang memberi perang dalam diriku”, kali ini aku berani mejawabnya dengan nada dengki.

Satu bintang lainnya muncul dan bercahaya kilat. 
Dan lagi sang rembulanpun menceritakan kembali padaku, “Kisah lain dari seorang balian adalah dia tidak membunuh budaknya, melainkan memberikannya kebebasan dan seekor kuda untuk ditunggangi oleh budaknya. Tahukah kau apa yang terjadi di kemudian waktu? Si budak itu menjelma sebagai pemimpin pasukan perang Saladin, dia membiarkan Balian hidup saat Balian dan pasukkannya sudah tak berdaya atas serangan pasukan yang dipimpin oleh budak itu. Itu adalah hasil dari kebaikan  hati seorang Balian, seorang ksatria. Dan kau? Kau akan menuai apa yang kau tabur.”

Aku hanya bisa tertunduk lesu, ingatanku menceramahku. Tentang semua pertengkaran, semua umpan bagi derai air matanya. Rasanya seperti di dalam lingkaran angin puting, terasa diriku berada dalam semua yang terjadi selama lima tahun saat bersamanya. Kurasakan cinta saat melihatnya pertama kali. Mendengar alasan kenapa hatinya luluh oleh tatapanku, membayangkan saat kumembisikannya sebuah kalimat “kamu terlalu cantik buat aku, sayang” hingga dia tersipu malu. 

Air terjun menghiasi pipiku. Setidaknya mengingatkanku pada semua perjuangannya yang merupakan timbal balik dari sifatku yang selalu mengabaikannya. Saat dia berjalan kaki sejauh 10 kilometer hanya untuk menemuiku. Saat dia mengabaikan lapar demi mengefisien waktu hanya untuk bisa berduaan denganku.

Wahai kekasih:
“Tidakkah kamu tahu bahwa sebagian kita seperti tinta dan sebagian lagi seperti kertas. Dan jika bukan karena hitamnya sebagian kita, sebagian kita akan bisu. Dan jika bukan karena putihnya sebagian kita, sebagian kita akan buta? Dikau begitu cepat tergoda, serahkan dirimu padanya. Hei, setidaknya kamu telah menjadi pelatih yang tepat untuk hati ini, yang tiap kali kamu menggoresnya dia memang terluka kemudian berusaha untuk menahan perih perlahan belajar untuk sembuh.”

“sayang? Ingatkah kamu akan perjuangan kita? Kita menebar tegar pada setiap rintangan, melewatinya walau menginjak duri, dan saat semua orang bertaruh bahwa kita tak akan berhasil dan mereka berusaha memisahkan kita. Namun kita masih tetap bertahan.
Sekarang entah apa alasannya ku tak tahu persis, hingga kamu meninggalkanku.”

Aku meratapi semua kenangan itu, dan terhenti saat bayang-bayang wajahnya yang ceria di kala dia pergi jauh lalu menghapuskanku dari ingatannya. 

Cintanya memang membuatku gila, seperti orang-orang di kota metropolitan ini, yang kadang hidup berdampingan di balik demokrasi. Pun dia begitu, bermadu cinta saat dekat dan berpaling dariku saat dia di kejauhan sana. Memvonisku akan hal-hal yang tidak pernah kulakukan.      

Dikau kekasih pujaan hatiku:
Aku memberi tanya pada setiap rangkaian kesalmu, tentang aku yang selalu kamu vonis berubah. Bukannya aku selalu mengelak. Justru itu selalu tertimbun dalam ruang pikiranku yang kemudian untuk didiplomasi pada sang hati.

Ya, pikiran barangkali ego. Dan hati adalah gambaran untuk hasrat. Tapi cinta adalah berbicara hati. Cinta yang memaksa hati ini untuk menuntunku agar tidak tumbuh dalam ego.

Bahkan aku tidak mau membahas tentang kebusukan hatimu. Kadang hati ini bergejolak ingin memberitahumu bahwa setiap dikau memfonisku, itu sama dengan kamu menuntutku agar segera berubah. Dan ya! Aku memang sudah berubah kini, bukanlah seperti yang dulu dimana aku meratapi dirimu disana yang pergi karena bersamanya, bermimpi buruk tentangmu, menakut-nakuti diriku dengan berimajinasi akan segala sesuatu yang buruk yang mungkin sudah dan akan kalian berdua lakukan disana.

Aku juga tidak memilih untuk meratapi diriku disini karena itu akan menabur luka lama untuk terlahir kembali menjadi luka-luka baru. Aku lebih memilih untuk mengaksarakan rasa. Yang walaupun terkesan lebih buruk dengan mememorize kembali kisah semua tentang kita, setidaknya saat-saat tertentu linangan air mata ini jatuh di atas lembaran-lembaran putih  yang kemudian perlahan berubah dari kata demi kata hingga menjadi sebuah tulisan tentang kita. Aah.. bukan untuk dikenang tapi sebagai pengingat dari segala luka yang kamu beri.”
     
"Tuhan telah menciptakan kita semua. Kita semua pasti pernah menderita. Aku juga pernah kehilangan. Setiap yang kau sebut keindahan untuk sebuah bintang yang jatuh itu adalah kehilanganku. Dan kehilanganku itu hanya secuil penderitaanku. Kau akan segera tahu apa penderitaan terberatku.
Kadang apa yang menjadi penderitaan kita adalah keberuntungan bagi orang lain. Maka cobalah merasa beruntung atas kehilanganmu. Mulailah belajar untuk merelakannya”, sang rembulan kembali memberiku pencerahan.

Semuanya memang telah berubah tapi setidaknya kini ada mereka; sang rembulan dan beribu bintang, yang selalu menemaniku  hingga terlelap di sepanjang hari-hariku dan mulai memburu sang malam.  Mereka bercerita begitu banyak di sepanjang malam, membiarkanku menikmatinya untuk menghilangkan segala kerutan pilu, membantuku untuk berhenti membongkah tanya tapi mulai mencari arti mencari jawaban atas semuanya. Hingga pada akhirnya aku mulai memutuskan untuk bergegas mendatangi mereka. Bukan untuk meminta atau mendengarkan cerita-cerita mereka. Aku akan mendatangi mereka untuk menceritakan kembali kepada mereka apa kata hatiku.

Di hari-hari selanjutnya selalu  tak sabaran menantikan malam. Hingga tiba waktunya, aku melangkah keluar menuju kegelapan, di tempat seperti biasanya aku dan mereka bercerita.

Sembari menunggu mereka datang menyapaku, perlahan kumelatih lidahku, terbata-bata berkata,“angin? Walau aku sendiri, bukan berarti aku kesepian. Kesepian yang kau rasuki seakan tak mempan lagi bagiku,” berdusta pada semilir angin malam.

Tengah malampun berlalu, diluar dugaan, yang tak diharapkan datang. Rerintik hujan berdetak membangkitkan bulu kerinduan, menciptakan alunan, alunan kesunyian,

“suasana ini akan lebih indah, jika disaat ini ada kamu di sampingku,”

hingga aku mendekap pada dinginnya tubuhku oleh hujan yang terjun bebas tak ada hentinya dan akhirnya aku pun sadar “musim telah berganti.”

Hanya malam-malam kelam, aku tahu penderitaan sang rembulan yang sesungguhnya. Dikala dia tidak bisa menyapa mereka yang membutuhkan terangnya.

Dikala kita tidak bisa berbalik menabur kasih pada mereka yang membutuhkan kita tapi kita menaruh harapan pada orang yang telah berpaling dari kita agar kembali berbalik ke dalam pelukan kita.

“Tapi bagaimana mungkin aku mengubur semua tentangmu, tentang kita, lalu menuju ke hati yang lain sedangkan kamu masih hidup dalam relung hatiku? Aku tahu kamu telah pergi dan takkan kembali. Sayang? di saat kita selalu sibuk untuk gagal membangun cinta kita; brantam, dan saling berdebat mempertahankan ego masing-masing, di saat-saat itu aku sudah berusaha mencari penggantimu. Dan ya! Aku menemukannya. Aku menemukan kamu kembali  di dalam hatiku. Aku yang jatuh cinta berulang-ulang padamu.”

Jikalau rembulan datang lagi bersama bintang-bintangnya, aku cukup melambaikan tanganku dan aku akan bilang “Wahai langit. Aku  menatapnya dari kejauhan dan aku tak tahu dia dimana disana, tapi aku sadar bahwa aku tak harus mencarinya kemana karena satu yang kuyakini bahwa dimanapun dia kini dia selalu ada dihatiku.”
Cinta datang menghampiri kita hanya sekali dan akan abadi untuk selamanya. Seperti halnya seorang ksatria; membela kaum lemah dan kadang menyingkirkan yang benar untuk kedamaian orang banyak, Cinta; kadang kita harus melepaskannya demi kebaikan kedua belah pihak bahkan demi kebaikan semua orang, kadang kita harus mencintainya tanpa harus memilikinya. Dan “kamu akan selalu hidup di relung hatiku. Dengan atau tanpamu.”


Inspirasi cerita:
Film “Kingdom of Heaven”
Blog: “emptyhearts. tk”
Novel “Sayap-sayap patah” by Khalil Gibran
Buku “The Secret” by Rhonda Byrne
Blog: “otwsangir. com”  
Lagu: “Biarkan ku  sendiri” by Noah
Lagu: “You’re still the one” by Shania Twain

19 comments:

  1. Cinta memang menyakitkan
    Apalagi jika cinta jarak jauh
    Serasa tak memiliki padahal berstatus

    ReplyDelete
  2. nice artikel, pengalaman pribadi mas??? heheheee becanda mas...

    ReplyDelete
  3. i used translator to understand what u written over, good article

    ReplyDelete
    Replies
    1. thankyou. its all about love. exactly when our closest people done to us.

      Delete
  4. Cinta cinta dan cinta
    Kalo kata org putus satu tumbuh seribu
    Tapi kata hati, susah

    Luangkan waktu untuk pergi ke kebun, bawalah segelas kopi dan lihatlah daun2 bergerak. Mungkin bisa membantu��

    ReplyDelete
  5. terasa banget ..menyentuh..sprt pernah ada di dlm tulisan itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih udah berkunjung :) ditunggu ya kunjungan berikutnya

      Delete
  6. sedih gan..tapi tanpa memilki akan terasa sakit gan..wkwkwk

    ReplyDelete
  7. Kayaknya nih ga semua orang bisa lho... Mencintai tapi tidak memiliki...
    Apalagi yang tipe rasional. Jadinya yang dibalik, "Yang dimiliki yang dicintai"

    ReplyDelete
    Replies
    1. semuanya berawal dari "yang dimiliki yang dicintai" lalu "yg dimiliki yg dicintai" itu pergi meninggalkan kita ya muncullah "mencintai tapi tidak memiliki" mungkin untuk sela waktu. btw blog kamu bagus, traveling. suka jalan2 pastinya ya..

      Delete
  8. Umumnya, seorang manusia yang mencintai sesuatu pasti ingin memilikinya. Sedikit sekali yang bisa mencintai dengan menahan keinginan untuk memilikinya.
    Maka cintailah sesuatu dengan ikhlas, agar ketika tidak bisa memilikinya, cinta itu tetap ada, namun dalam bentuk yang berbeda.

    ReplyDelete
  9. sedih nya kalau harus mecintai tanpa harus memiliki

    ReplyDelete
  10. Cinta yang tidak memiliki sama dengan LDR menurut gue

    ReplyDelete
  11. hehee nice mas saya bacanya sampe baper hehe

    ReplyDelete