PERADABAN MODERN VS EKSISTENSI MANUSIA

Diambil dari Thesis: 
EKSISTENSI MANUSIA DAN HUBUNGAN ANTARPRIBADI BERDASARKAN EKSISTENSIALISME GABRIEL MARCEL DALAM NOVEL ASSASSIN'S CREED REVELATIONS: SEBUAH KAJIAN SEMANTIK DENGAN ANALISIS ISI




Di balik segala kemajuan dan kemegahannya, zaman modern ternyata menyimpan "bahaya-bahaya" yang dapat merendahkan martabat manusia. Bahaya-bahaya tersebut juga dapat merusak hubungan antar manusia.

Teknologi yang merupakan ciri peradaban modern mempunyai dua sisi: positif dan negatif.

Dikatakan positif, karena teknologi secara objektif dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.

Teknologi dinilai negatif, karena menimbulkan pelbagai dampak negatif yang merugikan hidup manusia. Dampak ini dapat dilihat pada fakta bahwa mesin-mesin perang telah diciptakan manusia untuk satu tujuan, yaitu untuk memusnahkan kehidupan. Dampak negatif lainnya adalah munculnya mentalitas teknokratik dan abstraksi akibat peradaban modern yang semakin dikuasai oleh teknologi.

Prihal dampak negatif ini, Roger Bacon (1214-1294) jauh-jauh hari sudah mengingatkannya: rahasia ilmu pengetahuan tidak harus selalu disampaikan kepada semua tangan, karena ada yang bisa menggunakannya untuk tujuan yang tidak baik (Giesler, 2000: 237). Kedua mentalitas yang merasuki orang-orang modern itu telah mengacaukan hubungan-hubungan sejati antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan dirinya sendiri, dan antara dia dengan sesamanya.

Pertama, peradaban teknologi telah membentuk dalam diri manusia mentalitas teknokratik. Mentalitas ini mewujudkan diri dalam dua bentuk semangat: utilitarisme dan fungsionalisasi. Utilitarisme adalah semangat untuk mencari keuuntungan yang sebanyak mungkin dan menghindari kerugian sekecil mungkin. Paham seperti ini telah merasuk ke dalam mentalitas orang-orang modern. Pada zaman di mana teknologi maju menjadi  tulang punggung bagi kehidupan ekonomi, setiap orang cenderung mencari dan mengeruk manfaat yang sebanyak mungkin dari suatu objek. Objek yang dijadikan sasarannya bisa berupa alam semesta dan sesama manusia.

Tentu tidak menjadi masalah kalau teknik-teknik yang ada pada teknologi dipakai untuk memanipulasi alam: mengolah alam sedemikian rupa sehingga manusia dapat mengambil manfaat-manfaat daripadanya. Tetapi masalah muncul ketika nafsu manusia untuk mengeksploitasi alam bisa menjadi tak terkendali. Itulah yang terjadi dan masih terus terjadi. Orang tidak bisa lagi melihat nilai-nilai religius dan estetis pada alam semesta, selain hanya melihatnya sebagai objek yang harus dikuras habis. Henry Binswanger, salah seorang atheis dan tokoh ekologi, menilai bahwa manusia modern telah memperkosa lingkungan alam dengan bersembunyi di balik alasan mulia, kesejahteraan masyarakat. Sesungguhnya, teknologi bertujuan untuk memuliakan alam semesta dengan memanfaatkannya secara jujur (Giesler, 2000: 375).

Semangat seperti ini tidak hanya merasuki jiwa manusia dalam mengolah alam. Nafsu yang sama juga merembet ke lapangan pergaulan antar manusia. Gejala ini tampak paling jelas dalam dunia pekerjaan. Tidak jarang terjadi, nilai dan harga diri manusia diukur menurut jumlah prestasinya. Prestasi orang dalam bekerja akan dilihat sejauh mana ia bisa bekerja secara efektif, cepat, efisien dan memenuhi target. Kenyataan seperti ini telah menampilkan fakta: manusia makin lama makin dibendakan sebagai mesin-mesin. Dari mesin-mesin orang memang bisa mengharapkan hasil dalam jumlah tertentu pada kurun waktu tertentu seperti yang telah direncanakan. Sebuah mesin dihargai sejauh masih dapat memberikan manfaat bagi manusia. Bila tidak, mesin tersebut akan dibuang atau dibesituakan.

Hal seperti ini juga terjadi pada diri manusia. Bila seseorang sudah tidak bisa lagi memberikan servis yang memuaskan sebagaimana dituntut oleh jenis pekerjaannya, tidak jarang terjadi, ia dipecat atau diberhentikan dengan hormat dari pekerjaannya. Tendensi membina hubungan dengan orang lain dengan maksud hanya mencari untung jelas menjauhkan kemungkinan bagi suatu cita-cita membentuk komunitas manusia berdasarkan cinta.

Mentalitas teknokratik juga muncul dalam bentuk fungsionalisasi, yaitu tendensi untuk memperlakukan orang lain sesuai dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Fungsi yang dimiliki seseorang dalam pekerjaannya seringkali menjadi faktor utama yang mempengaruhi pola-pola interaksi dan komunikasinya dengan orang lain. Dalam masyarakat umum pun terjadi hal demikian. Setiap orang cenderung diperlakukan menurut jabatan atau fungsi yang dimilikinya dalam seluruh tatanan sosial masyarakat. Inilah gejala fungsionalisasi. Dalam fungsionalisasi, manusia direduksi menjadi suatu fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsi inilah yang akhirnya menentukan bagaimana ia akan diperlakukan oleh orang lain dalam dunia pekerjaan maupun dalam masyarakat.

Tendensi untuk memperlakukan orang lain hanya menurut fungsi-fungsi saja itu mengartikan, minat orang makin lama hanya terpusatkan pada fungsi yang dimiliki orang lain dan bukan pada aspek pribadinya. Hubungan-hubungan antar manusia berlangsung hanya pada taraf fungsional saja. Hubungan-hubungan seperti ini tidak akan pernah bisa mendalam. Bahkan, pola relasi yang bersifat fungsional ini sifatnya sangat alienatif. Pada setiap relasi fungsional, aspek pribadi tak diperhatikan atau bahkan tersisihkan. Akhirnya pola hubungan fungsional membawa manusia pada suatu tahap di mana setiap orang menjadi anonim satu sama lain. Setiap orang menjadi objek bagi yang lain sehingga pribadi manusia terasingkan. Di sini terjadi, hubungan tersebut sama sekali tidak melibatkan unsur partisipasi apapun.

Kedua, peradaban teknologi telah menjebak manusia dengan membawanya pada sikap yang hanya terpaku pada abstraksi saja. Abstraksi dilukiskan sebagai suatu kerja atau aktivitas mental yang membantu manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud adalah penguasaan dan pemahaman akan suatu hal. Dalam setiap abstraksi selalu ada proses di mana subjek memisahkan diri dari objek unsur-unsur yang bersifat umum dari unsur-unsur yang bersifat khusus. Dengan demikian, subjek akhirnya dapat memperoleh gambaran umum mengenai objek tersebut.

Dalam menjalankan proses abstraksi, orang bisa jatuh pada perangkap, yaitu masuk pada apa yang disebut semangatt abstraksi. Hal itu terjadi bila mana subjek mulai melalaikan kondisi-kondisi objektif yang melekat pada objek dan hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat umum saja.

Orang bisa terjebak untuk hanya mementingkan salah satu kategori saja dalam memandang dan memahami suatu objek. Semangat abstraksii telah menjebak kaum Marxis yang mereduksi manusia hanya pada salah satu faktor kehidupannya saja: segi ekonomis. Hal yang sama telah mempengaruhi cara berpikir orang modern. Orang modern cenderung memandang dirinya dan sesamanya bukan lagi sebagai pribadi yang unik dan mandiri, malainkan lebih sebagai bagian dari suatu massa yang anonim dan umum. Konsep massa merupakan suatu abstraksi yang bersifat anonim dan umum karena tidak pernah jelas siapa yang mau ditunjuk dengan konsep itu. Massa adalah semua orang pada umumnya. Itu berarti realitas kedirian manusia yang unik semakin terlalaikan. Manusia dipandang semata-mata sebagai hal yang sifatnya impersional. Karena itulah, semangat abstraksi merupakan ancaman serius yang membahayakan hubungan sejati antarmanusia. Tendensi melalaikan aspek pribadi seseorang mau tak mau menutupi kemungkinan bagi suatu perjumpaan antarpribadi.



Mengenai Penulis: 



SALESIUS
 GAMPUR

3 comments:

  1. Very interesting blog, please keep it up bestgeast 4

    ReplyDelete
  2. Artikelnya keren banget gan, update terus ya gan.. saya juga ada artikel yang gak kalh menarik ni gan coba main main deh ke artikel saya di :
    - http://bit.ly/2gY25vc
    - https://goo.gl/wc1Ky4

    ReplyDelete