Showing posts with label kritik analisis. Show all posts
Showing posts with label kritik analisis. Show all posts

SEKEPING HATI YANG TERTINDAS

Kita terikat tapi tak saling memiliki
Antara dirimu dan diriku yang sesaat jika ada dia

Untuk sekeping hati yang tertindas, jamahlah aku dengan cintamu.

Karena kita Indonesia, kita Pancasila.

                 
    
sekeping hati yang tertindas
sekeping hati yang tertindas

Di mataku kamu bisa melihat adanya sebuah beban berat. Dalam keindahan kan kamu dengar ratapan. Sesuatu yang terlahir dari sebagian relung hati. Antara disakiti dan belas kasihan. Antara dirimu dan diriku yang sesaat jika ada dia.
Gunda itu teringat saat melihat bagaimana kamu memperlakukan dia, jauh melebihi aku. Kemudian duka hadir meratapi diriku. Mengingat kita yang terasa dekat saat dia menghilang dan aku yang kamu hilangkan saat dia kembali menghampiri. Kita terikat tapi tak saling memiliki.

Adakah sebagian dariku yang begitu jauh dari pantauanmu? Sebagian dari aku penuh kesemrawutan dan ketidakmampuan yang sungguh membutuhkan perhatianmu. Aku yang dianggap bodoh, aku yang  kamu bilang buta.

Sebenarnya apa kurangku bagimu? Salahku dimana sehingga kau biarkan aku merana?

Aku dengan bangganya merelakan segala yang bisa kusediakan untuk sekedar santapan bagimu. Telah kuperlihatkan segala keindahan untuk meningkatkan gairahmu meraba-raba aku, agar kamu dibanggakan hingga dipuja-puji semua orang.

Lantas, kenapa kamu menelantarkanku bila kamu tak menerima kekuranganku? Sedangkan kekuranganku bisa kamu cerahkan hanya dengan kamu mempedulikanku. Atau aku yang begitu bising bisa kamu redamkan dengan cintamu.
Hei, sungguh.... tolong dengarkanlah! Kekuranganku adalah aku yang tanpa cintamu. Aku yang bodoh karena kamu lebih bodoh. Cintailah aku seperti halnya kamu ribut merebut-rebut milikku. Aku adalah siapa dan bagaimana kamu, gambaran dirimu.

Dalam tangisku ada tawa canda menyakitkan. Melihatmu memperjuangkannya walau kamu tahu dia bukanlah bagian dari kita. Melihat kamu dengan kamu yang lainnya saling berdebat dan bermusuhan untuk memperebutkanku. Bukankah aku dengan kamu dan kamu yang lainnya itu menjadi kita karena perbedaan? Sadarlah, bahwa perbedaan yang menciptakan kita. Jangan sekali-kali menjadikannya senjata untuk perpecahan.
Berhentilah sekedar merajut persatuan dibalik demokrasi sebab aku akan selalu ada untukmu. Jamahlah aku dengan cintamu agar sebagian dari aku tidak terus-terusan bising oleh ketertindasan. Agar sebagian dari aku yang sangat berharga bagimu berhenti meminta pergi.


Berilah perhatian untuknya tapi tidak melebihi cintamu untukku. Walau dia satu Tuhan denganmu, ingatlah bahwa aku-kamu adalah kita. Kita Indonesia. Kita Pancasila. 

MEMBACA ‘ENAM LIMA’ PADA LEMBARAN SASTRA

MEMBACA  ‘ENAM LIMA’  PADA  LEMBARAN  SASTRA
Sederet angka yang harus ditebus dengan harga yang tidak murah

1965, sekumpulan angka sarat makna bagi Indonesia. Sederet angka yang harus ditebus dengan harga yang tidak murah. Tahun di mana drama politik berbuah tragedi kemanusiaan.

Pada esai ini, kita akan membacanya melalui sastra. Memang benar bahwa validitas sastra, meskipun itu sastra historis-realis, berada di bawah validitas teks ilmiah sejarah. Kendati demikian, saya memilih untuk membaca ‘enam lima’ melalui sastra dengan suatu asumsi dasar bahwa fokus saya bukan pada kronologi sejarah beserta ketepatan ruang, waktu, serta pelakunya. Sebab apa yang saya soroti lebih kepada aspek kemanusiaan yang termuat di dalamnya.

Saya percaya bahwa kebenaran tidak hanya boleh tertutur dari lisan sejarah, tapi semua, termasuk sastra. Sebagaimana dikatakan I Gusti Agung Ayu Ratih dalam pengantar antologi “Lobakan” bahwa “...sastra bertugas melemparkan ribuan tanya perihal hakikat kemanusiaan yang bergelantungan di sekitar tragedi...”. Berikut, melalui beberapa cerita pendek kita akan mendapati betapa pada kurun ’65 udara Nusantara didominasi aroma amis darah.

MEMBACA  ‘ENAM LIMA’  PADA  LEMBARAN  SASTRA
Tahun 1965 Bangsa Indonesia mengalami kutukan politik yang meminta tumbal dari anak kandung sendiri
Dari sini, kita akan menapakjejaki betapa pada masa itu Bangsa Indonesia mengalami kutukan politik yang meminta tumbal dari anak kandung sendiri. Kita tahu bahwa konflik politik antar elit di pusat kekuasaan tidak berhenti dan hanya berputar pada lingkaran penguasa saja, melainkan memberi dampak ke luar.  Merambah. Mewabah hingga ke pelosok.

Dari antologi cerpen Lobakan misalnya, kita bisa melihat betapa pada masa huru-hara politik 1965 itu, Bali yang tadinya ceria berubah menjadi murung dan berbau amis. Ya, amis darah segar yang tumpah di Pulau Dewata itu menjadi pemandangan ironis, mengingat eksotisme daerah wisata tersebut. Melalui cerpen ‘Made Jepun’, Putu Oka Sukanta mempertontonkan sebuah ‘sejarah versi lain’ kepada kita. Cerpenis berambut putih yang juga penyair ini menceritakan betapa konflik politik di Jakarta berubah menjadi epidemi tragedi kemanusiaan di pulau Dewata. 

Sebuah keluarga yang dicurigai ‘kena garis’, baru dicurigai, terlibat dalam aktivitas Partai Komunis Indonesia atau organ yang ditengarai berafiliasi dengannya seolah halal untuk diperlakukan dengan tidak manusiawi. Putu mencontohkan mulai dari kisah lapak kudapan milik Isteri wayan Urip hingga kisah putri Wayan Urip, Made Jepun yang miris. Lapak sederhana yang menjajakan pisang goreng itu menjadi saksi bisu betapa si empunya kerap kali harus rela menerima teror psikis berupa kejahilan orang-orang yang membenci mereka dengan meletakkan kotoran manusia di bawah lapak atau bahkan menggantung bangkai tikus pada atapnya. Seolah merupakan bahasa lain dari ancaman bahwa mereka yang kena garis bahkan tak berhak nyaman dalam mencari makan.

Tak selesai disitu, Putu juga menceritakan tentang Made Jepun yang berubah dari seorang gadis ceria menjadi seonggok daging bernyawa yang tak terurus. Sakit jiwa. Pasalnya, di sela tragedi itu ia diperkosa oleh I Blanar, seorang petugas sipil di tangsi polisi yang bertugas menangkapi mereka yang dituduh kena garis. Setelah dituduh anggota Gerwani, Made digagahi  saat ayah dan kakaknya ditahan. Tragis.

Sebuah gambaran dehumanisasi lain juga datang dari karya Martin Aleida,  ‘Mangku Mencari Doa di Dataran Jauh’. Dalam cerpen yang merupakan bagian dari Antologi “Mati Baik-baik kawan”, mantan anggota LEKRA yang konsisten dengan tema '65 ini menjadikan sastra sebagai ruang kesaksian sejarah. Sebagai cerpenis sekaligus pelaku sejarah 1965, Pria bertubuh tegap ini mengusung apa yang ia sebut “sastra kesaksian”.

Dalam cerpen tersebut, ia bersaksi tentang seorang yang dituduh terlibat  PKI beserta unsur-unsurnya harus rela menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Dalam kisah tersebut, Martin yang juga seorang jurnalis, memberikan suatu gambaran metaforik di mana seorang pemuda Bali bernama Mangku harus kehilangan ayahnya yang dibantai atas tuduhan makar. Dan sejak saat itu ia bersumpah tak mau mati di tanah leluhurnya, Bali. Sebab ia tak tahan menyaksikan betapa banyaknya nyawa yang dicabut dengan cara tak wajar. Biadab.

Alhasil, Mangku pergi ke Sumatera beserta kera jantan dan anjing Kintamani peliharaannya. Di tengah perjalanan, anjingnya dirampas orang, dan ketika setahap lagi tiba di tujuan, kera kesayangannya diterkam anjing rabies. Esoknya Mangku menyaksikan bangkai anjing rabies mengapung tersia-sia di pinggir pantai. Rupa-rupanya itu anjing yang menularkan penyakit pada keranya yang kini telah menjadi bangkai. Namun ia tak melempar bangkai Kera itu ke laut, ia menguburkannya dengan layak. Setelah menguburnya, Mangku berkata ”Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, Kawan. Diiringi doa...”.

Melalui potongan cerpen di atas, kita dapat melihat panorama mencekam dari fragmen sejarah drama kehidupan manusia. Sebuah zaman di mana manusia tak lagi dimanusiakan. Karena ‘kena garis’. Karena dituduh Komunis. Dan atas dasar tuduhan itu, maka tangan-tangan kotor yang entah bekerja atasnama apa seolah mendapatkan suatu dalil pembenaran untuk membuat hidup orang lain menderita baik secara fisik maupun psikis.

Kendati konflik politik kerap dijadikan rasionalisasi atas tragedi yang merampas banyak nyawa anak bangsa tersebut, apapun namanya, terwakilkan dengan menyebut satu kata, kekerasan. Kekerasan yang seolah tak salah karena ditimpakan atas mereka yang dipaksa salah. Kekerasan yang menerpa pribadi lugu dan buta politik, bahkan tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebagaimana tertuang dalam cerpen Putu Fajar Arcana ‘Monolog’, “saya memang pernah diajak untuk menjadi anggota Partai Komunis itu, tetapi saya menolak....”,” ... urusan saya urusan yang sangat pragmatis, saya cuma ingin semua kami di desa memiliki tanah yang cukup sebagai tumpuan hidup kami sehari-hari.....”.

Apapun rasionalisasinya, kekerasan yang terjadi pada kurun 1965 telah mencoreng wajah ramah bumi Nusantara. Menodai harga diri dan mengoyak identitas Bangsa. Bayangkan, ada tangan-tangan tertentu yang merasa berhak merenggut hak hidup, hak kepemilikan, ketenangan, bahkan kesucian orang lain hingga  mengalami trauma dan berujung pada kematian pasca sakit jiwa berkepanjangan seperti dalam kisah Made Jepun. Juga berhasil mengusir seseorang dari ketenangannya, sampai pada suatu kenyataan bahwa seekor kera dapat beroleh cara mati yang lebih wajar ketimbang seorang manusia yang dituduh Komunis sebagaimana tergambar dalam kisah Mangku.

Tentu bukan kekerasan yang kita perlukan untuk menghadapi kekerasan sebagaimana dicontohkan Gandhi. Yang kita butuhkan adalah kewarasan. Kewarasan yang harus ditularkan ke tiap kepala agar tangan dari pemilik kepala-kepala itu mau bergandengan menatap hari depan bangsa yang lebih cerah. Kita harus ingat bahwa mereka yang kerasukan kekerasan hanya menyisakan kerusakan. Kita juga tak membutuhkan dendam, sebab “dendam bisa kehilangan isi, ingatan tak pernah sirna” (meminjam istilah Martin Aleida dalam cerpen Bertungkus Lumus).


Kekerasan yang Lahir dari Identitas Tunggal

Setelah mencoba membaca perlahan, akhirnya kita melihat bahwa ‘enam lima’ bukan sekadar gempa politik belaka, tapi juga bencana kemanusiaan. ‘Enam lima’ adalah  tragedi yang proses terciptanya bermula dengan pemalsuan identitas, diikuti kekerasan dan berujung pada kekerasan atas identitas yang dipalsukan dengan label stigma buruk yang disebar membabi buta. Dan ini berdampak pada tercerabutnya kemanusiaan yang membuat manusia terasing, bahkan dari dirinya.

Saya mencoba sedikit merenungkan jika saja cara pandang kita mengenai identitas tidak dikotomik dan tunggal, boleh jadi pertentangan bahkan yang pada taraf tertentu berujung pembantaian dapat dihindari.

Cara pandang mengenai identitas ini memiliki pengaruh besar pada pengenalan atas identitas itu sendiri. Dan pada gilirannya, pengenalan pada hakikat kemanusiaan. Saya melihat bahwa tragedi ’65 terjadi karena dalam benak mereka yang bertikai, bercokol sebuah konsep tentang “the other”. Bahwa di sisi ini ‘aku’ atau ‘kami’ berdiri, sedangkan di sisi yang berseberangan adalah ‘kau’ atau ’kalian’, yang oleh karena memiliki identitas berbeda maka seolah ada pengesahan untuk saling melancarkan serangan.

Mengutip Prof. Gumilar Rusliwa Somantri “bahwa irasionalitas kekerasan yang termanifestasi dalam wujud konflik.... merupakan cermin kegagalan negara dan masyarakat dalam membangun kehidupan sosial”. Namun saya pikir, ini bukan hanya kegagalan negara atau masyarakat, melainkan juga kegagalan sebuah Bangsa dalam upaya mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah entitas yang hakikatnya tunggal dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan.

Singkatnya, apa yang terjadi pada tragedi kemanusiaan itu merupakan cermin kegagalan sebuah Bangsa dalam upaya mengenali diri sejatinya. Gagal dalam melihat pluralitas identitas sebab kecamuk politik yang demikian tebal menggumpal membuat pandangan terhalang oleh apa yang disebut Amartya Sen sebagai ilusi tentang identitas tunggal yang melandasi mereka yang menjadi dalang konfrontasi, kemudian dipupuk dan dipelintir dengan cermat oleh para pemimpin aksi penganiayaan dan pembantaian itu.

Dalam hal tragedi 1965, identitas tunggal itu adalah “warna politik”. Dikotomi yang dikerucutkan hanya dengan komunis atau non-komunis seolah merupakan opsi tunggal identitas dalam kehidupan berbangsa. Padahal, jika kita membuka mata, kita akan melihat betapa identitas kita begitu kaya.

Sebuah contoh, suatu saat seorang teman baru di kampus menanyakan asal saya. Dan pada saat yang sama saya seolah bertemu dengan sebuah rumus rumit yang menimbulkan rasa malas untuk melakukan penjabaran. Sebab saya adalah seorang anak yang dilahirkan di Jakarta, putra dari ayah berdarah Jawa, lebih spesifik Solo, keturunan derajat keempat Mangkunegaran, juga sunda. Dan dilahirkan oleh ibu yang berdarah Arab dari suku Alawy, kasta teratas masyarakat Hadhramadut, Yaman selatan, dan telah bercampur dengan darah Gresik serta Sumbawa.

Wow, alangkah kompleksnya rumus silsilah ini. Padahal saya hanya sedang menjawab pertanyaan biasa saja dan lumrah ditanyakan seorang yang baru berkenalan. Itu baru mengenai hal yang berkaitan dengan suku, belum lagi identitas lain yang membuat kita akan tampak seperti sebuah buku panduan tebal yang kaya akan informasi. Ini adalah contoh kecil betapa identitas seseorang tidak sesederhana sebagaimana direduksi hanya menjadi komunis atau non-komunis. Tentu, kompleksitas pada skala lebih akan kita dapati ketika berbicara identitas dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kesadaran akan pluralitas identitas dalam tubuh Bangsa ini akan melahirkan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa yang akan meredam potensi kekerasan.

(Okky Tirtoadhisoerjo adalah nama pena dari R.M. Joko P Mulyadi, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta)

TENTANG KELOMPOK PARAMILITER: BELAJAR DARI KASUS TIMOR TIMUR

Ada bagian dari sejarah kita yang tidak dengan jujur kita akui sampai saat ini. Kisah dalam sejarah itu bercerita mengenai kecerdasan negara. Sebuah kecerdasan yang digunakan untuk membelah masyarakat dan membiarkan pemangsaan sekelompok masyarakat terhadap masyarakat yang lain. Sebuah kecerdasan yang terus direproduksi untuk melanggengkan kekuasaan. Kecerdasan itu adalah membentuk sipil paramiliter

Masyarakat Indonesia banyak mengalami pengalaman buruk ketika organisasi paramiliter ada di antara mereka. Salah satu kasusnya adalah pembentukan milisi-milisi di Timor Timur menjelang referendum. Kasus itu menarik karena paramiliter menjadi mata rantai penting terjadinya pelanggaran berat HAM di wilayah itu.

Segera setelah Soeharto jatuh dari kekuasaannya pada tahun 1998, pemerintah Indonesia memberikan janji referendum (jajak pendapat) pada Timor Timur untuk memilih apakah hendak merdeka atau tetap menjadi bagian Republik Indonesia. Tentu saja, janji itu tidak pernah tulus. Ketidaktulusan itu segera tampak dari apa yang dilakukan pemerintah Indonesia setelah janji itu diluncurkan resmi, pemerintah membentuk banyak sekali kelompok milisi. Menurut CAVR, tidak kurang dari 25 kelompok milisi bentukan militer Indonesia di Timor Timur. Salah satunya, Kelompok Besi Merah Putih pimpinan Eurico Guteres. Berbeda dengan milisi yang telah ada sebelumnya, rekayasa dan dukungan militer di balik milisi-milisi baru ini amat jelas. Anggota milisi yang dibentuk sekarang memiliki kedekatan dengan tentara sejak dekade 1970-an, dan terus mendapat binaan dari tentara Indonesia.

Tujuan pembentukan milisi ini adalah untuk melancarkan strategi militeristis untuk mempengaruhi hasil referendum atau jajak pendapat rakyat mengenai opsi merdeka yang ditawarkan. Sebagaimana kelompok paramiliter lain, cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan teror dan konflik dalam masyarakat Timor Timur. Rezim militer Indonesia rupanya bertekad memenangkan hati rakyat Timor Timur dengan cara itu. Sebuah cara ironis dan kontradiktif terhadap wilayah dan rakyat yang waktu itu dianggap sebagai bagian integral Indonesia sendiri. Ironi yang memang sejak awal pendudukan sudah dan terus terjadi.

Menurut penelitian CAVR (Commission for Reception, Truth-seeking, and Reconciliation), jika Pemerintah Indonesia,setelah menempuh berbagai cara, gagal memenangkan referendum, mereka akan membumi hanguskan Timor Timur sebelum meninggalkannya. Dengan bumi hangus mereka ingin Timor Timur berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk daripada saat Indonesia menganeksasi daerah itu. Barangkali begitulah cara para pecundang melampiaskan angkara.

Adanya milisi bentukan militer membuat rakyat Timor Timur terbelah. Ada dua identitas yang terpisah dalam jurang yang panjang dan dalam. Identitas pertama adalah mereka yang pro-Indonesia. Identias yang kedua adalah kelompok pro-kemerdekaan. Dukungan terhadap kelompok milisi yang pro-Indonesia amat jelas. ABRI, misalnya memberikan dukungan pelatihan, logistik dan keuangan bagi kelompok ini.

Tidak hanya itu, mereka diskenariokan menjadi `wakil negara` untuk menciptakan `ketertiban`. Milisi ini ada dan seolah-olah punya wewenang yang amat besar terhadap rakyat Timor Timur sendiri. Dengan cara itu rezim militer hendak menghancurkan kemanusiaan rakyat Timor-Timur dengan memakai tangan rakyat Timor Timur sendiri. Dengan itu alibi bahwa perang dan pelanggaran HAM terjadi karena konflik horisontal yang spontan bisa menjadi dalih pembenar.

Di lapangan, milisi-milisi paramiliter bentukan Rezim Soeharto di Timor Timur terlibat dalam banyak sekali kejahatan pada masa Konsultasi Rakyat, pra jajak pendapat, hingga pasca jajak pendapat. Menurut laporan CAVR, mereka bertanggung jawab terhadap terusirnya 40 ribu hingga 60 ribu rakyat Timor Timur dari rumahnya yang kemudian mengakibatkan kelaparan. Mereka juga aktor yang hebat dalam menjalankan strategi militeristik untuk mempengaruhi keputusan hasil jajak pendapat. Selain itu, para milisi terlibat dalam pemerkosaan, perbudakan seksual, pembunuhan, penyiksaan dan penculikan. CAVR dalam Chega!  mencatat sekitar 1400-1500 orang Timor Timur terbunuh lewat tangan kelompok milisi.

Sejarah yang panjang
Keberhasilan militer melanggar HAM di Timor Timur dengan memanfaatkan organisasi paramiliter adalah hasil dari sebuah proses adaptasi perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah organsiasi paramiliter Indonesia diawali ketika Jepang membentuk lembaga sejenis Keibodan dan Seinendan guna memobilisasi kekuatan rakyat Indonesia untuk diperbantukan dalam perang Asia Timur Raya. Banyak mantan kesatuan itu yang kemudian menjadi bagian dari laskar-laskar pada masa revolusi kemerdekaan. Setelah Indonesia mendapat kemerdekaan secara penuh, demi efisiensi dan rasionalisasi angkatan perang, laskar-laskar dibubarkan.

Pada masa Soekarno, untuk mendukung kampanye melawan neo-kolonialisme-nya barisan paramiliter dibentuk untuk mendukung Soekarno untuk operasi militer Dwikora  (Operasi Ganyang Malaysia) dan Trikora (operasi merebut Papua Barat).

Ada perubahan tujuan pada masa Soeharto dalam hal pembentukan organisasi militer ini daripada sebelumnya. Jika pada masa Jepang tujuannya adalah  untuk pertahanan menghadapi ancaman dari luar, maka pada masa Soeharto, tujuannya adalah menghadapi rakyat sendiri. Tercatat dalam rangkaian peristiwa G 30 S, rezim militer memanfaatkan Banser NU untuk membantai orang-orang yang di-PKI-kan`oleh Soeharto di Jawa Timur.

Pada periode selanjutnya, Soeharto memanfaatkan organisasi semacam itu untuk menjaga stabilitas demi pembangunan ekonomi. Perlawanan Rakyat (Wanra) yang terlibat dalam operasi Dwikora dan Trikora pada masa Soekarno diganti namanya menjadi Hanra (pertahanan rakyat). Ada juga organisasi pertahanan sipil atau Hansip. Tugasnya, seperti disebut di atas, adalah untuk menjadi penjaga `perdamaian` dalam negeri demi mendukung penciptaan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintahan Soeharto, memang tidak menghadapi ancaman luar negeri . Soeharto- sebagaimana disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi Hadiz dalam buku Pemikiran Sosial-Politik Indonesia 1965-1999 - Soeharto adalah kawan terbaik bagi negara-negara barat (Amerika Serikat dan Inggris) untuk menghadapi komunisme. Oleh karena isu keamanan dan pertahanan lebih banyak menyangkut ancaman dari dalam negeri.

Konteks Kekinian
Pasca reformasi, keinginan penguasa untuk memanfaatkan kelompok paramiliter guna menciptakan pembelahan sosial dan melanggar hak asasi manusia belum pupus. Penguasa masih menerapkan prinsip otoritarianisme Orde Baru yang menganggap rakyat harus diperlakukan sebagai musuh. Hanya beberapa saat setelah Soeharto turun, Pam Swakarsa, sebuah organisasi paramiliter lain, dibentuk. Merekalah salah satu kelompok pelaksana lapangan pengamanan yang menghadapi mahasiswa ketika terjadi Peristiwa Semanggi.

Pembentukan Pam Swakarsa diikuti oleh organisasi-organisasi paramiliter yang berbasis etnis dan agama seperti FBR, FPI dan sebagainya. Setali tiga uang dengan kelompok paramiliter bentukan negara, kelompok paramiliter yang dibentuk masyarakat ini cenderung bertindak seperti `bos` atau warganegara kelas satu ketika berhadapan dengan `orang biasa`. Banyak data menunjukkan mereka sering bertindak di luar hukum seperti melakukan razia, penyerbuan dan sebagainya.

Negara yang dipersonifikasikan oleh pihak penegak hukum, anehnya, sering terlihat membiarkan tindakan mereka. Dalam banyak kesempatan mereka justru mengawal organisasi paramiliter itu ketika melakukan tindakan yang seharusnya merupakan wilayah wewenang penegak hukum saja. Timur Pradopo memberikan contoh buruk itu ketika menjadi Kapolda Metro Jaya. Ia justru merangkul salah satu organisasi paramiliter untuk menciptakan apa yang disebutnya sebagai ketertiban umum. Padahal mereka salah satu dari elemen yang menciptakan ketidaktertiban itu.

Pelanggaran HAM oleh negara tidak hanya bisa dimaknai dalam tindakan negara yang aktif, tetapi juga dalam hal kepasifan berupa pembiaran. Negara seharusnya melindungi hak-hak warga negaranya. Ketidakberfungsian negara yang disengaja, atau bahkan kooptasi terhadap kelompok  paramiliter yang melanggar HAM sesungguhnya adalah pelanggaran HAM juga.

Pembiaran itu terlihat juga dari ketidakmauan negara untuk membubarkan organisasi paramiliter tersebut. Pihak berwenang selalu berdalih bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul dilindungi undang-undang dasar. Alasan itu sekilas memang bagus, tapi  marilah lihat dari sisi lain. Setidaknya ada tiga alasan mengapa organisasi paramiliter harus dibubarkan. Pertama, mereka adalah sipil militeristik yang mempunyai karakter komandois, hirarkis dan uniformis. Mereka, sebagaimana militer murni, tidak terbiasa dengan prosedur dan nilai demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi terhadap perbedaan dan kesetaraan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin demokrasi diterapkan dalam masyarakat yang dicekoki kultur militer?

Kedua, penyebaran mereka makin meluas. FBR dan Forkabi, misalnya, baru-baru ini makin melebarkan sayap di daerah Depok dan Tangerang seiring dengan diselenggarakannya Pilkada. Sebelumnya organisasi Pemuda Pancasila dan FPI telah mempunyai cabang di seluruh wilayah Indonesia. Penyebaran organisasi paramiliter yang meluas akan makin membuat iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan demokrasi. Mereka, di banyak tempat (contohnya di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Vedi Hadiz), makin berperan dalam memanipulasi prosedur demokrasi untuk melanggengkan penguasa.  Demokrasi yang sebenarnya tidak pernah dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan. Demokrasi, dengan demikian hanyalah seremonial yang berhenti pada sesuatu yang simbolik. Ia hanya menguntungkan kelompok elit dan predatoris macam organisasi paramiliter.

Ketiga, modus pelanggaran HAM oleh sebuah organisasi paramiliter mempunyai kesamaan di semua wilayah. Karenanya, pandangan pihak berwenang yang selalu memandang bahwa pelanggaran itu hanya diakibatkan oleh oknum per oknum adalah sebuah pandangan yang naïf. Melihat karakter yang komandois, hirarkis dan uniformis, patut dicurigai adanya kesalahan institusional dalam pelanggaran tersebut. FPI, misalnya, di semua tempat selalu melakukan razia dan penyerbuan dengan modus yang sama pada setiap aksinya. Hal ini tidak patut jika selalu harus dilihat dari pelanggaran orang-perorang, namun harus ditelisik lebih jauh untuk menguji kesalahan institusional tadi.

Penutup
Ada saatnya kita harus belajar pada masa lalu. Dan, proses belajar tidak pernah terjadi jika tak ada kejujuran dan pengakuan yang tulus. Manipulasi sejarah demi ego pribadi dan nasionalisme sempit hanya akan melatenkan luka dan menciptakan kondisi bagi pelanggaran HAM serupa di masa yang akan datang

Timor Timur memberikan pelajaran pada kita. Ancaman pembelahan sosial dan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur, dalam bentuk lain, juga mengancam kita sekarang.

Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa organisasi paramiliter sesungguhnya tidak lebih dari kepanjangan tangan penguasa dan pembawa militerisme dalam masyarakat sipil. Ia adalah lawan dari demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia. Oleh karenanya, mendorong pembubaran organisasi paramiliter harus dipandang sebagai sebuah kewajiban bagi perjuangan demokrasi dan penegakkan hak-hak asasi manusia. Tanpa itu konsolidasi demokrasi tidak akan pernah secara paripurna tercipta.

(Penulis: Isto Widodo)




MARAKNYA PELANGGARAN HAM YANG TERABAIKAN DI PAPUA



Pesona keindahan alam bak mutiara

dan kekayaan alam yang tak ternilai

namun terbayar tidak seperti seharusnya.

Masyarakat yang terus menerus terbelenggu

akan pembangunan nyata tapi tak merata

hingga menuntut mereka hidup sekedar untuk bertahan.

Jeritan hati seakan terdengar menggema, miris namun asing.

dan ketika Papua bersuara,

disitulah linangan air mata berdarah.

bukan untuk diratapi, hanya ingin didengar dan terdengar.






“MUTIARA HITAM YANG TERABAIKAN”
                                                           Christien Natalia



Orang Berseragam Tentara: “Apa kamu tahu tempat disembunyikannya senjata?! ”Orang Berseragam Tentara itu setengah berteriak marah sambil menginjak dada dan mengikat kaki juga tangan orang Papua itu.
Orang Papua: “Di Sanoba” sambil merintih kesakitan ia memberikan nama satu daerah di Papua.
Orang Berseragam Tentara: ”Dapatkah kamu menunjukkan pada saya?!”  Tanya Orang Berseragam Tentara memaksa. “cepat! di daerah mana di sanoba? namanya, namanya!!”  Teriaknya.
Orang Papua: “tabuni…”  Dia menjawab nama temannya yang diduga anggota OPM.
Orang Berseragam Tentara: dimana-dimana?! apa dia disanoba?”  Desaknya
Orang Papua: “tidak tahu..” Katanya kesakitan.
Orang Berseragam Tentara: “dirumah?” Tanyanya lagi
Orang Papua: “tidak” Jawabnya pelan.
Orang Berseragam Tentara: “harus tahu! Sanoba dimana? siapa temanmu? kalau tidak kau akan mati kami bakar! satu teman! dimana dia yang bawa senjata kesekitar sini?! ” Semakin menekan kakinya ke dada warga Papua itu.
 Orang-orang Berseragam Tentara: “bakar!! bakar!!” Teriak orang – orang berseragam tentara di tempat itu sambil membuka celana orang Papua. Kemudian melakukan sesuatu yang tidak jelas (karena gambar diburamkan) kepada orang Papua itu yang hanya dapat berteriak – teriak kesakitan.


 
Pada 29 Oktober tahun 2009, di salah satu ruang atas Wisma Hijau, saya membuka youtube searching video tentang penyiksaan di Puncak Jaya, Papua.
Namun hanya kekecewaan yang saya dapatkan karena beberapa video telah diblokir. Padahal video tersebut belum diblokir sewaktu membukanya di rumah. Sampai akhirnya saya membuka video berita dari Aljazeera English dan melihat video penyiksaan yang mengerikan itu.

Saya tidak sendiri membuka video itu. Ada beberapa siswi SMA yang bersama saya. Salah satunya langsung berpendapat “Ih..jahat banget sih!! Kalo ketemu pemerintah bakal gua bilang, eh! kok lo jahat sih! siksa orang!!”  Saya tersenyum miris ketika dia mengatakan hal itu, karena sebenarnya saya juga punya perasaan yang sama dengannya.

Ada perasaan yang bercampur aduk ketika saya menyaksikan video penyiksaan di Puncak Jaya untuk pertama kali dari televisi dan video yang didownload di rumah. Sedih…, marah…,takut…,malu…, dan mau muntah. Bayangkan saja, Orang Papua itu disundut kemaluannya dengan bara api dari kayu yang dibakar. Apa Orang Berseragam Tentara dalam video itu tidak merasakan hal yang sama saat melihat video ini? Apalagi dia yang melakukan. Setidaknya kalau mereka tidak punya hati nurani, apakah mereka tidak merasa ingin muntah? Dan terbiasa menganggap manusia seperti hewan?

Dalam konferensi pers hari Rabu 20 Oktober, Komnas HAM yang diwakili komisionernya Yosep Adi Prasetyo, mengemukakan keabsahan video tersebut. Penyiksaan diperkirakan dilakukan 12 April 2010. Orang Papua tersebut bernama Pendeta Kindeman Gire yang beberapa hari setelah penyiksaan, kepalanya ditemukan disungai setempat. Pelaku penyiksaan ini diduga adalah oknum TNI. Video ini membuat masyarakat menjadi geger karena kasus pelanggaran HAM seakan – akan baru terjadi Papua, padahal isu pelanggaran HAM di Papua merupakan pelanggaran HAM masif yang berarti banyak terjadi di Papua.

Sebut saja Biak Berdarah, yang menewaskan 8 orang ditempat pada 6 juli 1998, ratusan luka dan puluhan orang hilang. (andawat-papua.blogspot.com). Lalu kasus Abepura yang terjadi pada 7 Desember 2000. Menurut KPP HAM Papua / Irian Jaya dalam kasus itu telah terjadi penyiksaan terhadap 105 orang (elsam.or.id). Kemudian tewasnya Theys Hiyo Eluay pada 11 November 2001  yang meninggal tidak wajar dan dicurigai karena pencekikan atau / pembengkakan, seperti dinyatakan oleh Lembaga Patologi FKUI (melanesianews-org). Berbagai kekerasan lain di Papua terus berlanjut hingga saat ini.

Kenyataan di atas menyadarkan kembali bahwa isu pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru. Dan tidak satupun pelanggaran HAM di Papua yang tuntas hingga detik ini. Pelanggaran HAM di sana dianggap tidak ada dan akhirnya dilupakan. Melihat video tadi, penyiksaan itu sepertinya telah direncanakan sebelumnya guna “melayani” penguasa atau komandan, yang membuat penyiksaan ini menjadi tampak legal.  

Namun Pangdam Cenderawasih, Mayjen.Hotma Marbun,  kepada Aljazeera English, mengatakan: “I don’t know if this has happened. All I can say is that there are no human rights violations in Papua since I have been in charge, unless they are personal fights but nothing structural if this is really true whoever did this will be punished according to millitary law”

Pernyataan memalukan Pangdam Cenderawasih terasa menyayat telinga saya dan bertentangan dengan fakta yang ditemukan oleh Komnas HAM. Dalam beberapa bulan terakhir saja ada  50 orang terbunuh oleh TNI di Puncak Jaya. Hanya di Puncak Jaya saja.

Penyiksaan adalah satu tindakan yang mampu membuat seluruh aspek kehidupan seseorang hancur. Apalagi penyiksaan ini dilakukan oleh aparat yang bersenjata lengkap kepada warga sipil yang bertangan kosong yang tidak mungkin melawan.

Isu tentang penyiksaan yang terjadi di Papua merupakan salah satu isu yang sangat penting namun jarang disentuh. Kita tahu banyak persoalan HAM disana termasuk penyiksaan. Namun seiring berjalannya waktu toh itu semua akan menguap dengan sendirinya.

Paradigma yang dibangun karena ketidakpedulian terhadap saudara kita di ujung timur sana, pada akhirnya mengoyak esensi dasar HAM; yaitu: HAM melekat dalam diri manusia itu sendiri.  Tidak ada satu orang pun yang dapat mencabut HAM ini dari siapapun dan dimana pun manusia itu berada. Hal ini membuktikan bahwa dimanapun kita berada HAM akan tetap dijunjung tinggi.

Dalam paradigma semacam ini, penyiksaan di Papua merupakan suatu pelanggaran HAM yang sistematik yang dilakukan oleh aparat pemerintahan. Namun dibalik itu ada satu organisasi yang selalu dikambinghitamkan, yaitu OPM.

OPM (Organisasi Papua Merdeka) OPM didirikan di Manokwari pada Februari 1965, tepatnya di Sanggeng pada rumah keluarga Watofa. Menurut John Anari, organ ini didirikan dengan nama Organisasi Pembebasan Papua Merdeka/OPPM (oppb.webs.com).

Namun Pemerintah menyebutnya dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dengan dihilangkannya kata pembebasan oleh pemeOPM (Organisasi Papua Merdeka) OPM didirikan di Manokwari pada Februari 1965, tepatnya di Sanggeng pada rumah keluarga Watofa. Menurut John Anari, organ ini didirikan dengan nama Organisasi Pembebasan Papua Merdeka/OPPM (oppb.webs.com).

rintah maka membentuk penilaian masyarakat bahwa organ tersebut membentuk perjuangan yang bersifat makar. Organisasi ini menginginkan pembebasan bagi Papua, karena menurut organisasi ini masyarakat Papua sejak Pepera tidak setuju menjadi bagian NKRI. Pernyataan ini bukan sekedar pernyataan yang tanpa dasar tetapi merujuk kepada kebenaran sejarah yang sebenarnya terjadi.

OPM merupakan gerakan yang mencoba keluar dari “penjara” NKRI yang mampu “membungkus cantik” setiap kebohongan – kebohongan publik yang berhasil dibangun dalam masyarakat Indonesia.

UUD 45’ jelas menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, Dalam UU 39 Tahun 1999 disebutkan juga bahwa Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.

Hukum positif yang mengatur secara spesifik mengenai penyiksaan itu sendiri yaitu UU nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Juga ada Kovenan Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi.

Sehingga jelas bahwa harus ada tindakan terhadap pelanggaran HAM di Papua. kemudian perlu dicari siapa pelakunya dan lewat Pengadilan HAM dimintai pertanggungjawabannya. Namun Pengadilan HAM yang dibuat untuk Papua dinilai tidak independen. Contohnya Pengadilan HAM untuk kasus Abepura. Dalam Pengadilan HAM kasus Abepura ini tidak diajukan nama – nama anggota atau Pejabat Kepolisian Daerah Papua. Sehingga para pelaku tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Cara independen untuk menyeret mereka yang bertanggungjawab dalam pelanggaran HAM ke pengadilan yaitu dengan adanya Organisasi Non Pemerintah dan human rights lawyer (yang mempunyai consultative status). Organisasi semacam ini dapat menyampaikan informasi independen kepada anggota komite HAM PBB (Resolusi Economic and Social Council nomor 1987/5). Atas dasar informasi tersebut, mereka yang diduga sebagai para pelaku pelanggaran HAM dapat disidangkan di ICC (International Criminal Court).

Diseminasi ini merupakan jalan alternatif yang harus ditempuh Organisasi Non Pemerintah dan human rights lawyer, dibandingkan menunggu pemerintah menuntaskan kasus ini. Menurut buku Penyiksaan Dan Mereka Yang Selamat (LSPP, 2003), diseminasi seperti ini dapat menimbulkan kewaspadaan publik atau Public Awareness tentang praktek – praktek pemerintah berkenaan dengan pelanggaran HAM di seluruh penjuru negeri.


Menuju Penegakan HAM bagi Mutiara Hitam
Baju loreng – loreng itu mengingatkan saya pada reformasi TNI, yang ternyata belum sepenuhnya. Mereka masih menggunakan kekerasan, sama seperti yang dilakukan orde baru, untuk mendapat pengakuan yang “dipaksakan”.

Komnas HAM telah mendesak Panglima TNI untuk melakukan investigasi dan klarifikasi terhadap isi video penyiksaan tersebut. Tapi tampaknya sulit sebab mereka merasa tidak bersalah, terbukti dari pernyataan Pangdam Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun diatas. Jadi tampaknya hanya mimpi kalau menunggu mereka yang melakukan investigasi.

Ketentuan dalam Pasal 42 ayat 1 UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan “komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif”.

Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) kata “dapat” dalam pasal ini membuat kerancuan, kata tersebut harusnya diganti dengan kata “wajib”. Jadi lebih baik menggunakan Statuta Roma, yang dianut oleh ICC, Pasal 28 ayat 1 (a) yang dianut PBB, yang secara tegas menyatakan bahwa Komandan Militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.

Merujuk pada pertanggungjawaban yang diatur dalam Statuta Roma yang dianut ICC, paling tidak, ada satu nama yang diduga bertanggungjawab untuk diseret ke ICC pada kasus Pendeta Kindeman Gire, yaitu Mayjen Hotma Marbun (Pangdam Cenderawasih). Dan tidak tertutup kemungkinan perwira – perwira tinggi lain di atasnya.

Penantian panjang mutiara hitam di negeri ini tampaknya hanya angan - angan. Tidak ada tanda – tanda adanya perlindungan HAM bagi sang mutiara hitam. Kenyataan tentang pelanggaran HAM di Papua yang ditutupi, pasti suatu saat akan terulang kembali. Kasus – kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di Papua, harus menjadi refleksi bagi kita semua dan generasi mendatang untuk terus menuntut penegakan HAM khususnya di wilayah itu dan di Indonesia pada umumnya. Agar penantian panjang mutiara hitam berujung pada kenyataan.
      

PEMERKOSAAN PEREMPUAN CINA DAN KEKERASAN KOLOSAL


“Lebih baik bangsa ini fokus pada rekonsiliasi kalau berpikir lagi untuk membongkar siapa pelaku yang bertanggung jawab. ini akan terjadi kegaduhan politik.”  
( Patrialis Akbar, 20 Mei 2010)



Memaafkan dan  melupakan. Itulah makna yang ditangkap dari ucapan Menteri Hukum dan HAM. Sikap negara untuk memberi kompensasi kesehatan dan pekerjaan bagi para keluarga korban menjadi sia – sia jika tanpa memenuhi hak keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

Di dunia yang tidak bermoral, kepalsuan atau kebenaran tidaklah berarti, sebuah cara pandang ala Nietzsche. Cara pandang yang terdengar gila tetapi justru menemukan landasan praktis di sebuah negeri bertuhan, berkeadilan, dan berprikemanusiaan.

Mei 1998 sudah berlalu tetapi ingatan masih membekas, dan orang mencatatnya sebagai sejarah yang mungkin masih sebagian kecil. Kejahatan di masa lalu dipeti-es-kan dan merupakan kejadian bersejarah yang harus dimaklumi oleh semua pihak. Pelaku  pada akhirnya bebas melangkah sementara korban dibayang-bayangi peristiwa buruk di dalam suatu apapun, padahal jumlah korbannya banyak.

Tanda-tanda sebelum berakhirnya Orde Soeharto adalah kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Kebanyakan sasarannya adalah orang Cina. Orang Cina menjadi korban, sasaran empuk untuk melanggengkan Orde yang banyak keroposnya. Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara dalam pernyataannya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kerusuhan yang terencana. (Mengenang untuk Tidak Melupakan. Pernyataan Sikap Peringatan 6 Tahun Tragedi Mei 1998. Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 - Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pondok Ranggon, 13 Mei 2004)

“Sekitar pukul 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar dari mobil. Mereka mulai melucuti pakaian kedua perempuan itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia. Setelah kedua perempauan itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati mereka dan mencari jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuaan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. Setelah menolong dua wanita itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?”(Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).

Orang-orang Cina menjadi korban di dalam sebuah panggung politik yang berubah. Hari-hari akhir Soeharto sedang ditentukan pada Mei 1998, rakyat sedang resah dan kini mulai ada kumpulan massa yang menyuarakan keresahannya di jalan-jalan akibat naiknya sembako. Di antara kumpulan  massa kemudian mencuri, merampok, dan  menjarah toko-toko, yang mungkin muncul karena dorongan ekonomi. Tetapi kemudian darimana muncul dorongan seks untuk memperkosa, apalagi perkosaan secara massal?

Tim Relawan untuk Kemanusiaan dalam Dokumen Awal No. 3, dokumentasi setebal 19 halaman, menyebutkan terjadinya korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal berjumlah 168. Menurut Drs. Hasballah M. Saad M.S., dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia, angka 168 untuk pemerkosaan dalam beberapa hari kerusuhan merupakan angka yang luar biasa.

Walau kasus kekerasan dan pemerkosaan bukanlah barang baru, tetapi besarnya angka kejadian dalam jangka waktu singkat menunjukkan peristiwanya yang kolosal. Angka 168 kasus pemerkosaan pada Mei 1998 pada akhirnya menjadi kasus pemerkosaan massal paling dahsyat di Indonesia dalam sejarah abad XX.

Tetapi laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tidak ditanggapi aparat keamanan dengan baik untuk diselidiki dan dilakukan proses hukum terhadap pelakunya. Justru Kepala Kepolisian RI, Letnan Jenderal Roesmanhadi memberi pernyataan bahwa selama tidak ada bukti, pemerkosaan itu tidak ada. Kolonel Gorries Mere, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, kemudian muncul di televisi. Pernyataannya, “Polisi sudah menyelidik hingga 103 kasus, tapi tidak pernah kami dapatkan bukti konkret.”

Pemerkosaan massal terhadap perempuan Cina adalah kekerasan kolosal yang terencana dan menjadi bagian dari gerakan politik di masa itu. Penyelesaiannya harusnya secara politik. Tetapi aparat keamanan negara menganggap peristiwa itu sebagai kriminal biasa.

ABRI bersikap keras menemui para korban pemerkosaan dan polisi menghendaki ada bukti fisik. Sikap mencari korban dan pelakunya itu justru dapat menimbulkan dugaan bahwa Pemerintah waktu itu yang dipimpin Habibie ingin mengabaikan aspek politik peristiwa tersebut.

Harusnya aparat keamanan negara dapat mengerti bahwa sangat berat bagi korban untuk mengulang cerita pemerkosaan tersebut karena itu berarti korban harus mengingat lagi peristiwa yang menakutkan dan menghancurkan hidupnya.

Begitulah cara kami berdialog. Setiap kali satu kertas habis, dia minta korek dan membakar kertas itu di kamar mandi. Ketahuan bahwa bapak ini korban yang keluarganya habis ditumpas. Juga harta bendanya. Tinggal baju yang melekat di badan saja. Dia tidak berani mengingat saat-saat kejadian, pelakunya, bahkan  tempat  tinggalnya.

Trauma yang begitu mendalam ditangkap Romo Sandy dari salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Kenangan berdarah  rezim ini sangat mengganggu psikologis korban, ujarnya saat di wawancarai oleh wartawan majalah D&R, 20 Juni 1998.  Tidak sedikit korban yang gila bahkan memutuskan untuk bunuh diri.

Romo  Sandy,relawan dari Tim Relawan Kemanusiaan beberapa kali diteror dan diancam akan dibunuh oleh sekelompok orang yang berbadan kekar. Hal itu membuat relawan yang lainnya memilih untuk bungkam

Peristiwa Mei 1998 adalah sebuah tragedi. Kisah perjuangan di dalam sejarah Indonesia harus melalui pintu sesak yang hampir-hampir mungkin terlupakan. Hingar bingar Soeharto lengser meminggirkan tragedi Mei 1998 yang merupakan kekerasan kolosal dahsyat menjelang akhir milenium II. Walau Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan seperti Megawati, tetapi Presiden perempuan seperti Megawati tidak mau  angkat bicara, dan tidak menjadikan  tragedi Mei 1998 sebagai perhatian penting.

Setelah Orde Soeharto berakhir dan digantikan para pemimpin berikutnya, tidak ada upaya negara untuk membongkar peristiwa yang menimpa orang Cina. Bukanlah kesan yang salah senadainya Orde Pasca Seoharto dinilai masih mengikuti warisan lama, adat Orde Soeharto yang membiarkan rakyat menjadi korban, dan pembiaran ini merupakan sebuah kesengajaan karena kebijakan politik yang dihasilkan negara justru bersikap dingin atas jatuhnya korban. Tidak cukup menjadi korban, stigma pun harus ditempelkan atas diri korban sebagai pelengkap penderitaan mereka.

12 tahun berlalu, sampai sekarang pengungkapan kasus belum juga dilakukan.  Kasus itu hilang dan seolah tidak ada kejadian apa apa di sana. Jika tidak ditindak lanjuti, peristiwa seperti ini akan terus terulang kembali.



PENULIS:
ANGELIQUE M. CUACA