PERGANTIAN KEKUASAAN VOC KE PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA (1062-1799 )

Belanda di Indonesia pada mulanya bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Akan tetapi pada tahun 1602, Belanda mendirikan organisasi perkumpulan kongsi dagang yang berlayar di wilayah Hindia Belanda yang bernama Verenigde Oost Indische Compagnoe (VOC)

PERGANTIAN KEKUASAAN VOC DI INDONESIA

sejarah singkat VOC sejak tahun 1062 hingga tahun 1800

Kongsi dagang ini awalnya didirikan untuk menyaingi Portugis dan Spanyol yang telah lebih dulu bercokol di nusantara. Namun, dengan hak octroi yang dimiliki VOC, lambat laun VOC seolah menjadi Negara yang berdiri di bawah Negara induknya, Belanda. Hal ini berimbas pada perilaku pemerintahan VOC yang semena-mena melakukan perluasan kekuasaan dengan mengadu domba penguasa lokal. Kekuasaan VOC menjadi awal kolonialisme di Indonesia.


Secara singkat berikut akan disajikan aktivitas-aktivitas yang dilakukan VOC.

Sejarah singkat VOC
sejak tahun 1062 hingga tahun 1800 :

Abad ke 17

Pada bulan Maret 1602 Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang setahun kemudian berhasil membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Banten namun tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris. Sedangkan di kubu Inggris melakukan pelayaran pertamanya dan tiba di Aceh pada tahun 1602 yang kemudian dilanjutkan Sir Henry Middleton dan berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda namun mendapat perlawanan keras dari VOC.


Februari 1605 Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu. Dengan maksud memperluas daerah kekuasaannya VOC pada tahun 1609 membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan, namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa yang telah bekerjasama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.

Sejak tahun 1610 Ambon dijadikan sebagai pusat VOC yang dipimpin seorang gubernur jendral tetapi selama 3 (tiga) orang gubernur jendral pertama Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.

Pada tahun 1618 Banten dibawa pimpinan mengambil keputusan untuk menghadapi VOC dengan memaksa Inggris untuk membantu, namun pada tahun 1619 ketika VOC akan menyerah pada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten menghalangi maksud Inggris. Karena Banten tidak mau pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya; Banten menduduki kota Batavia.

Kekosongan kekuasaan yang terjadi di Banten setelah Inggris memukul mundur VOC yang kemudian Inggris diusir oleh masyarakat Banten sendiri menjadikan Belanda kembali ingin menguasai Banten dan pada bulan Mei 1619 Jan Pieterszoon Coen, seorang Belanda, melakukan pelayaran ke Banten dengan 17 kapal. Pada bulan yang sama VOC mengambil keputusan untuk memberi nama baru Jayakarta sebagai Batavia.

30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen berhasil memukul mundur tentara Banten, lalu menjadikan Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, jauh dari Eropa.

Hasi kerja keras tersebut mendapat pujian dari pemerintah Belanda dengan ditunjuknya Jan Pieterszoon Coen sebagai gubernur jendral VOC akan tetapi selama masa jabatannya selalu menggunakan kekerasan untuk memperkokoh kekuasaan dan menghancurkan semua halangan yang merintangi. Dia menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.

Tahun 1619 terjadi migrasi orang Tionghoa ke Batavia. VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.

Atas dasar pertimbangan diplomatik di Eropa, pada tahun 1620 VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon. Pada tahun 1620, VOC membuang, mengusir bahkan membantai seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak dalam rangka mengatasi masalah penyelundupan di Maluku.

Kerjasama antara VOC dan Inggris yang baru berjalan selama 3 (tiga) tahun berakhir pada tahun 1623 akibat pembunuhan terhadap 12 agen perdagangan Inggris, 10 orang Inggris, 1 orang Jepang; 1 orang Portugis oleh pihak VOC. Banyak kemajuan yang telah dicapai Belanda di tahun 1630 dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.

Pada tahun 1637 VOC yang telah cukup lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting cengkeh. Penyelundupan cengkeh semakin berkembang lalu muncul banyak komplotan-komplotan yang anti dengan VOC. Gubernur Jendral Antonio van Diemen melancarkan serangan terhadap para penyelundup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.

Di tahun berikutnya yaitu pada tahun1638, Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha membuat persetujuan dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas Seram dan Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real setiap tahunnya dengan imbalan bahwa penyelundupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal dan pada tahun 1643 Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan dalam perang yang dialami Ternate dengan memaksa raja Ternate ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.

Tahun 1656 seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang dan semua tanaman rempah-rempah di Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami manusia kecuali jika ekspedisi Hongi (armada tempur) melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.

Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang Gowa, menghancurkan kapal-kapal Portugis pada tahun 1660 dan pada Agustus-Desember 1660 memaksa Sultan Hasanuddin (raja Gowa) untuk menerima persetujuan perdamaian dengan VOC dan persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan sehingga pada tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.

Pada April 1668 dan Juni 1669 VOC berhasil dalam serangan besar-besaran terhadap Goa dan setelah kejadian itu perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.

Pada tahun 1670 VOC berhasil melakukan konsolidasi kedudukannya di Indonesia Timur dan masih menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi kekuatan para pemberontak yang dihadapi tidak begitu besar.

Pada tahun yang sama VOC menebang tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung halamannya, banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu yang tewas adalah seolah-olah demi mencapai tujuan VOC dalam memonopoli rempah-rempah.

Dan pada tahun 1674 Pulau Jawa dalam keadaan yang memprihatinkan; kelaparan merajalela, berjangkit wabah penyakit, gunung merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.

Pada tahun 1680, di Jawa Barat, kerajaan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya yaitu merupakan daerah pengahasil lada terbanyak serta memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa, kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara.

Atas bantuan pihak Inggris, Denmark, dan Tiongkok maka orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Di pihak lain, VOC, hanya menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Jawa karena daerah pegunungan sulit untuk dikuasai dan sering dijadikan tempat persembunyian pemberontak. Pemberontakan sering terjadi pada tahun tersebut sehingga mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.


Pada tahun 1682 pasukan VOC di bawah pimpinan Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju Banten dengan tujuan untuk menguasai perdagangan di Banten dan hasilnya VOC bisa merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir sedangkan orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan merupakan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.

Selama kurun waktu 1683-1710 VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat di wilayah Asia. Di antara 23 kantornya hanya tiga (Jepang, Surakarta dan Persia) yang mampu memberikan keuntungan; sembilan kantor lainnya menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa.

VOC banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi akibat pemberontakan di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efisien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.

Pada tahun 1684, Gubernur Jendral Speelman meninggal sehingga terbongkarlah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan karena konon Speelman memerintah tanpa menghiraukan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan.

Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90% dan monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua peninggalan Speelman disita negara.

Pada tanggal 8 Februari 1686 terjadi pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya François Tack dengan dua puluh luka di tubuhnya dan pada tahun 1690 Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.


Abad ke-18

Pada tahun 1702 jumlah kekuatan serdadu militer Belanda yang berkebangsaan Eropa hanya tinggal sedikit dan keberadaan orang-orang Tionghoa di Batavia semakin meningkat hingga tahun 1721.

Pada tahun 1727 posisi ekonomi orang Tionghoa semakin penting bagi pihak-pihak tertentu namun mereka sering menyebabkan kejahatan dan menimbulkan perasaan tidak senang. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan warga bebas serta kolonis-kolonis Belanda yang tidak dapat menandingi orang Tionghoa sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa permusuhan dan sikap rasialis terhadap orang Tionghoa. Mengatasi hal tersebut, pada tahun yang sama, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.

Namun dua tahun setelah pengusiran orang-orang Tionghoa, pemerintah Belanda kembali membuka pintu bagi orang-orang Tionghoa yang masih menginginkan bagi mereka yang ingin kembali ke Indonesia dan memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.

Pada tahun 1740 Terjadi penangkapan terhadap orang Tionghoa, tidak kurang 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa. Pada tanggal 4 Februari 1740 Segerombolan orang Tionghoa melakukan pemberontakan dan penyerbuan pos penjagaan untuk membebaskan bangsanya yang ditahan.



Pada tanggal 8 Oktober 1740 perusahan Belanda mengeluarkan maklumat agar pemerintah Belanda menyerahkan senjata kepada perusahan serta mengadakan jam operasional malam. Sehari setelah itu VOC melakukan pembunuhan terhadap 10.000 orang Tionghoa lalu membakar perkampungan orang Tionghoa selama beberapa hari, namun kekerasan ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC. Pembunuhan besar-besaran tersebut mendapat protes dari orang-orang Tionghoa dengan ditandai penyerangan tiga ribu orang Tionghoa di pertahanan VOC di Tangerang pada 10 Oktober 1740.

Pada Mei 1741 orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembunuhan di Batavia tersebut melarikan diri ke arah timur menyusur sepanjang daerah pesisir dan merebut pos di Juwana, markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya terancam.

Pada Juli 1741 Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa yang membantai seluruh personel VOC dan prajurit raja yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC Kapten Johannes van Velsen dan beberapa serdadu lainnya tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih pindah agama.

Pada November 1741 Pakubuwana II mengirim pasukan artileri ke Semarang. Pasukan prajurit-prajurit yang berjumlah 20.000 tersebut bersatu dengan orang Tionghoa (3.500 orang) dalam pengepungan terhadap pos VOC. Namun pada Desember 1741 dan awal 1742 VOC merebut kembali daerah-daerah lain yang terancam serangan.

Pada tanggal 13 Februari 1755 VOC menandatangani Perjanjian Giyanti yang isinya mengharuskan VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.

Pada September 1789 Belanda mendengar desas-desus bahwa raja Jawa akan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa, sehingga mengutus seorang residen yang bernama Andries Hartsick dengan memakai pakaian Jawa menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.

Lalu kapan VOC dibubarkan?
Pada tanggal 1 Januari 1800 VOC secara resmi dibubarkan setelah pada tahun 1795 ijin (oktroi)-nya ditiadakan, pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldokerugian sebesar 134, 7 juta gulden. Bubarnya VOC ini dikarenakan berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, lagi pula sistem monopilanya serta sistem paksanya dalam pengumpulan bahan-bahan / hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik penguasa maupun dari penduduk yang sangat menderita dalam sistem paksaan itu.

2 comments:

  1. blognya sangat bermanfaat sekali.. hadir berkunjung gan..

    ReplyDelete
  2. Terimakasih. Ini lengkap bgt penjelasannya. Apa yg sy cri2 slama ini trnyata ada disini.

    ReplyDelete