PEMERKOSAAN PEREMPUAN CINA DAN KEKERASAN KOLOSAL


“Lebih baik bangsa ini fokus pada rekonsiliasi kalau berpikir lagi untuk membongkar siapa pelaku yang bertanggung jawab. ini akan terjadi kegaduhan politik.”  
( Patrialis Akbar, 20 Mei 2010)



Memaafkan dan  melupakan. Itulah makna yang ditangkap dari ucapan Menteri Hukum dan HAM. Sikap negara untuk memberi kompensasi kesehatan dan pekerjaan bagi para keluarga korban menjadi sia – sia jika tanpa memenuhi hak keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

Di dunia yang tidak bermoral, kepalsuan atau kebenaran tidaklah berarti, sebuah cara pandang ala Nietzsche. Cara pandang yang terdengar gila tetapi justru menemukan landasan praktis di sebuah negeri bertuhan, berkeadilan, dan berprikemanusiaan.

Mei 1998 sudah berlalu tetapi ingatan masih membekas, dan orang mencatatnya sebagai sejarah yang mungkin masih sebagian kecil. Kejahatan di masa lalu dipeti-es-kan dan merupakan kejadian bersejarah yang harus dimaklumi oleh semua pihak. Pelaku  pada akhirnya bebas melangkah sementara korban dibayang-bayangi peristiwa buruk di dalam suatu apapun, padahal jumlah korbannya banyak.

Tanda-tanda sebelum berakhirnya Orde Soeharto adalah kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Kebanyakan sasarannya adalah orang Cina. Orang Cina menjadi korban, sasaran empuk untuk melanggengkan Orde yang banyak keroposnya. Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara dalam pernyataannya menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kerusuhan yang terencana. (Mengenang untuk Tidak Melupakan. Pernyataan Sikap Peringatan 6 Tahun Tragedi Mei 1998. Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 - Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pondok Ranggon, 13 Mei 2004)

“Sekitar pukul 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar dari mobil. Mereka mulai melucuti pakaian kedua perempuan itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia. Setelah kedua perempauan itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati mereka dan mencari jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuaan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. Setelah menolong dua wanita itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?”(Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998).

Orang-orang Cina menjadi korban di dalam sebuah panggung politik yang berubah. Hari-hari akhir Soeharto sedang ditentukan pada Mei 1998, rakyat sedang resah dan kini mulai ada kumpulan massa yang menyuarakan keresahannya di jalan-jalan akibat naiknya sembako. Di antara kumpulan  massa kemudian mencuri, merampok, dan  menjarah toko-toko, yang mungkin muncul karena dorongan ekonomi. Tetapi kemudian darimana muncul dorongan seks untuk memperkosa, apalagi perkosaan secara massal?

Tim Relawan untuk Kemanusiaan dalam Dokumen Awal No. 3, dokumentasi setebal 19 halaman, menyebutkan terjadinya korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal berjumlah 168. Menurut Drs. Hasballah M. Saad M.S., dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia, angka 168 untuk pemerkosaan dalam beberapa hari kerusuhan merupakan angka yang luar biasa.

Walau kasus kekerasan dan pemerkosaan bukanlah barang baru, tetapi besarnya angka kejadian dalam jangka waktu singkat menunjukkan peristiwanya yang kolosal. Angka 168 kasus pemerkosaan pada Mei 1998 pada akhirnya menjadi kasus pemerkosaan massal paling dahsyat di Indonesia dalam sejarah abad XX.

Tetapi laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tidak ditanggapi aparat keamanan dengan baik untuk diselidiki dan dilakukan proses hukum terhadap pelakunya. Justru Kepala Kepolisian RI, Letnan Jenderal Roesmanhadi memberi pernyataan bahwa selama tidak ada bukti, pemerkosaan itu tidak ada. Kolonel Gorries Mere, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, kemudian muncul di televisi. Pernyataannya, “Polisi sudah menyelidik hingga 103 kasus, tapi tidak pernah kami dapatkan bukti konkret.”

Pemerkosaan massal terhadap perempuan Cina adalah kekerasan kolosal yang terencana dan menjadi bagian dari gerakan politik di masa itu. Penyelesaiannya harusnya secara politik. Tetapi aparat keamanan negara menganggap peristiwa itu sebagai kriminal biasa.

ABRI bersikap keras menemui para korban pemerkosaan dan polisi menghendaki ada bukti fisik. Sikap mencari korban dan pelakunya itu justru dapat menimbulkan dugaan bahwa Pemerintah waktu itu yang dipimpin Habibie ingin mengabaikan aspek politik peristiwa tersebut.

Harusnya aparat keamanan negara dapat mengerti bahwa sangat berat bagi korban untuk mengulang cerita pemerkosaan tersebut karena itu berarti korban harus mengingat lagi peristiwa yang menakutkan dan menghancurkan hidupnya.

Begitulah cara kami berdialog. Setiap kali satu kertas habis, dia minta korek dan membakar kertas itu di kamar mandi. Ketahuan bahwa bapak ini korban yang keluarganya habis ditumpas. Juga harta bendanya. Tinggal baju yang melekat di badan saja. Dia tidak berani mengingat saat-saat kejadian, pelakunya, bahkan  tempat  tinggalnya.

Trauma yang begitu mendalam ditangkap Romo Sandy dari salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Kenangan berdarah  rezim ini sangat mengganggu psikologis korban, ujarnya saat di wawancarai oleh wartawan majalah D&R, 20 Juni 1998.  Tidak sedikit korban yang gila bahkan memutuskan untuk bunuh diri.

Romo  Sandy,relawan dari Tim Relawan Kemanusiaan beberapa kali diteror dan diancam akan dibunuh oleh sekelompok orang yang berbadan kekar. Hal itu membuat relawan yang lainnya memilih untuk bungkam

Peristiwa Mei 1998 adalah sebuah tragedi. Kisah perjuangan di dalam sejarah Indonesia harus melalui pintu sesak yang hampir-hampir mungkin terlupakan. Hingar bingar Soeharto lengser meminggirkan tragedi Mei 1998 yang merupakan kekerasan kolosal dahsyat menjelang akhir milenium II. Walau Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan seperti Megawati, tetapi Presiden perempuan seperti Megawati tidak mau  angkat bicara, dan tidak menjadikan  tragedi Mei 1998 sebagai perhatian penting.

Setelah Orde Soeharto berakhir dan digantikan para pemimpin berikutnya, tidak ada upaya negara untuk membongkar peristiwa yang menimpa orang Cina. Bukanlah kesan yang salah senadainya Orde Pasca Seoharto dinilai masih mengikuti warisan lama, adat Orde Soeharto yang membiarkan rakyat menjadi korban, dan pembiaran ini merupakan sebuah kesengajaan karena kebijakan politik yang dihasilkan negara justru bersikap dingin atas jatuhnya korban. Tidak cukup menjadi korban, stigma pun harus ditempelkan atas diri korban sebagai pelengkap penderitaan mereka.

12 tahun berlalu, sampai sekarang pengungkapan kasus belum juga dilakukan.  Kasus itu hilang dan seolah tidak ada kejadian apa apa di sana. Jika tidak ditindak lanjuti, peristiwa seperti ini akan terus terulang kembali.



PENULIS:
ANGELIQUE M. CUACA