MARAKNYA PELANGGARAN HAM YANG TERABAIKAN DI PAPUA



Pesona keindahan alam bak mutiara

dan kekayaan alam yang tak ternilai

namun terbayar tidak seperti seharusnya.

Masyarakat yang terus menerus terbelenggu

akan pembangunan nyata tapi tak merata

hingga menuntut mereka hidup sekedar untuk bertahan.

Jeritan hati seakan terdengar menggema, miris namun asing.

dan ketika Papua bersuara,

disitulah linangan air mata berdarah.

bukan untuk diratapi, hanya ingin didengar dan terdengar.






“MUTIARA HITAM YANG TERABAIKAN”
                                                           Christien Natalia



Orang Berseragam Tentara: “Apa kamu tahu tempat disembunyikannya senjata?! ”Orang Berseragam Tentara itu setengah berteriak marah sambil menginjak dada dan mengikat kaki juga tangan orang Papua itu.
Orang Papua: “Di Sanoba” sambil merintih kesakitan ia memberikan nama satu daerah di Papua.
Orang Berseragam Tentara: ”Dapatkah kamu menunjukkan pada saya?!”  Tanya Orang Berseragam Tentara memaksa. “cepat! di daerah mana di sanoba? namanya, namanya!!”  Teriaknya.
Orang Papua: “tabuni…”  Dia menjawab nama temannya yang diduga anggota OPM.
Orang Berseragam Tentara: dimana-dimana?! apa dia disanoba?”  Desaknya
Orang Papua: “tidak tahu..” Katanya kesakitan.
Orang Berseragam Tentara: “dirumah?” Tanyanya lagi
Orang Papua: “tidak” Jawabnya pelan.
Orang Berseragam Tentara: “harus tahu! Sanoba dimana? siapa temanmu? kalau tidak kau akan mati kami bakar! satu teman! dimana dia yang bawa senjata kesekitar sini?! ” Semakin menekan kakinya ke dada warga Papua itu.
 Orang-orang Berseragam Tentara: “bakar!! bakar!!” Teriak orang – orang berseragam tentara di tempat itu sambil membuka celana orang Papua. Kemudian melakukan sesuatu yang tidak jelas (karena gambar diburamkan) kepada orang Papua itu yang hanya dapat berteriak – teriak kesakitan.


 
Pada 29 Oktober tahun 2009, di salah satu ruang atas Wisma Hijau, saya membuka youtube searching video tentang penyiksaan di Puncak Jaya, Papua.
Namun hanya kekecewaan yang saya dapatkan karena beberapa video telah diblokir. Padahal video tersebut belum diblokir sewaktu membukanya di rumah. Sampai akhirnya saya membuka video berita dari Aljazeera English dan melihat video penyiksaan yang mengerikan itu.

Saya tidak sendiri membuka video itu. Ada beberapa siswi SMA yang bersama saya. Salah satunya langsung berpendapat “Ih..jahat banget sih!! Kalo ketemu pemerintah bakal gua bilang, eh! kok lo jahat sih! siksa orang!!”  Saya tersenyum miris ketika dia mengatakan hal itu, karena sebenarnya saya juga punya perasaan yang sama dengannya.

Ada perasaan yang bercampur aduk ketika saya menyaksikan video penyiksaan di Puncak Jaya untuk pertama kali dari televisi dan video yang didownload di rumah. Sedih…, marah…,takut…,malu…, dan mau muntah. Bayangkan saja, Orang Papua itu disundut kemaluannya dengan bara api dari kayu yang dibakar. Apa Orang Berseragam Tentara dalam video itu tidak merasakan hal yang sama saat melihat video ini? Apalagi dia yang melakukan. Setidaknya kalau mereka tidak punya hati nurani, apakah mereka tidak merasa ingin muntah? Dan terbiasa menganggap manusia seperti hewan?

Dalam konferensi pers hari Rabu 20 Oktober, Komnas HAM yang diwakili komisionernya Yosep Adi Prasetyo, mengemukakan keabsahan video tersebut. Penyiksaan diperkirakan dilakukan 12 April 2010. Orang Papua tersebut bernama Pendeta Kindeman Gire yang beberapa hari setelah penyiksaan, kepalanya ditemukan disungai setempat. Pelaku penyiksaan ini diduga adalah oknum TNI. Video ini membuat masyarakat menjadi geger karena kasus pelanggaran HAM seakan – akan baru terjadi Papua, padahal isu pelanggaran HAM di Papua merupakan pelanggaran HAM masif yang berarti banyak terjadi di Papua.

Sebut saja Biak Berdarah, yang menewaskan 8 orang ditempat pada 6 juli 1998, ratusan luka dan puluhan orang hilang. (andawat-papua.blogspot.com). Lalu kasus Abepura yang terjadi pada 7 Desember 2000. Menurut KPP HAM Papua / Irian Jaya dalam kasus itu telah terjadi penyiksaan terhadap 105 orang (elsam.or.id). Kemudian tewasnya Theys Hiyo Eluay pada 11 November 2001  yang meninggal tidak wajar dan dicurigai karena pencekikan atau / pembengkakan, seperti dinyatakan oleh Lembaga Patologi FKUI (melanesianews-org). Berbagai kekerasan lain di Papua terus berlanjut hingga saat ini.

Kenyataan di atas menyadarkan kembali bahwa isu pelanggaran HAM di Papua bukan hal baru. Dan tidak satupun pelanggaran HAM di Papua yang tuntas hingga detik ini. Pelanggaran HAM di sana dianggap tidak ada dan akhirnya dilupakan. Melihat video tadi, penyiksaan itu sepertinya telah direncanakan sebelumnya guna “melayani” penguasa atau komandan, yang membuat penyiksaan ini menjadi tampak legal.  

Namun Pangdam Cenderawasih, Mayjen.Hotma Marbun,  kepada Aljazeera English, mengatakan: “I don’t know if this has happened. All I can say is that there are no human rights violations in Papua since I have been in charge, unless they are personal fights but nothing structural if this is really true whoever did this will be punished according to millitary law”

Pernyataan memalukan Pangdam Cenderawasih terasa menyayat telinga saya dan bertentangan dengan fakta yang ditemukan oleh Komnas HAM. Dalam beberapa bulan terakhir saja ada  50 orang terbunuh oleh TNI di Puncak Jaya. Hanya di Puncak Jaya saja.

Penyiksaan adalah satu tindakan yang mampu membuat seluruh aspek kehidupan seseorang hancur. Apalagi penyiksaan ini dilakukan oleh aparat yang bersenjata lengkap kepada warga sipil yang bertangan kosong yang tidak mungkin melawan.

Isu tentang penyiksaan yang terjadi di Papua merupakan salah satu isu yang sangat penting namun jarang disentuh. Kita tahu banyak persoalan HAM disana termasuk penyiksaan. Namun seiring berjalannya waktu toh itu semua akan menguap dengan sendirinya.

Paradigma yang dibangun karena ketidakpedulian terhadap saudara kita di ujung timur sana, pada akhirnya mengoyak esensi dasar HAM; yaitu: HAM melekat dalam diri manusia itu sendiri.  Tidak ada satu orang pun yang dapat mencabut HAM ini dari siapapun dan dimana pun manusia itu berada. Hal ini membuktikan bahwa dimanapun kita berada HAM akan tetap dijunjung tinggi.

Dalam paradigma semacam ini, penyiksaan di Papua merupakan suatu pelanggaran HAM yang sistematik yang dilakukan oleh aparat pemerintahan. Namun dibalik itu ada satu organisasi yang selalu dikambinghitamkan, yaitu OPM.

OPM (Organisasi Papua Merdeka) OPM didirikan di Manokwari pada Februari 1965, tepatnya di Sanggeng pada rumah keluarga Watofa. Menurut John Anari, organ ini didirikan dengan nama Organisasi Pembebasan Papua Merdeka/OPPM (oppb.webs.com).

Namun Pemerintah menyebutnya dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dengan dihilangkannya kata pembebasan oleh pemeOPM (Organisasi Papua Merdeka) OPM didirikan di Manokwari pada Februari 1965, tepatnya di Sanggeng pada rumah keluarga Watofa. Menurut John Anari, organ ini didirikan dengan nama Organisasi Pembebasan Papua Merdeka/OPPM (oppb.webs.com).

rintah maka membentuk penilaian masyarakat bahwa organ tersebut membentuk perjuangan yang bersifat makar. Organisasi ini menginginkan pembebasan bagi Papua, karena menurut organisasi ini masyarakat Papua sejak Pepera tidak setuju menjadi bagian NKRI. Pernyataan ini bukan sekedar pernyataan yang tanpa dasar tetapi merujuk kepada kebenaran sejarah yang sebenarnya terjadi.

OPM merupakan gerakan yang mencoba keluar dari “penjara” NKRI yang mampu “membungkus cantik” setiap kebohongan – kebohongan publik yang berhasil dibangun dalam masyarakat Indonesia.

UUD 45’ jelas menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, Dalam UU 39 Tahun 1999 disebutkan juga bahwa Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.

Hukum positif yang mengatur secara spesifik mengenai penyiksaan itu sendiri yaitu UU nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Juga ada Kovenan Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi.

Sehingga jelas bahwa harus ada tindakan terhadap pelanggaran HAM di Papua. kemudian perlu dicari siapa pelakunya dan lewat Pengadilan HAM dimintai pertanggungjawabannya. Namun Pengadilan HAM yang dibuat untuk Papua dinilai tidak independen. Contohnya Pengadilan HAM untuk kasus Abepura. Dalam Pengadilan HAM kasus Abepura ini tidak diajukan nama – nama anggota atau Pejabat Kepolisian Daerah Papua. Sehingga para pelaku tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Cara independen untuk menyeret mereka yang bertanggungjawab dalam pelanggaran HAM ke pengadilan yaitu dengan adanya Organisasi Non Pemerintah dan human rights lawyer (yang mempunyai consultative status). Organisasi semacam ini dapat menyampaikan informasi independen kepada anggota komite HAM PBB (Resolusi Economic and Social Council nomor 1987/5). Atas dasar informasi tersebut, mereka yang diduga sebagai para pelaku pelanggaran HAM dapat disidangkan di ICC (International Criminal Court).

Diseminasi ini merupakan jalan alternatif yang harus ditempuh Organisasi Non Pemerintah dan human rights lawyer, dibandingkan menunggu pemerintah menuntaskan kasus ini. Menurut buku Penyiksaan Dan Mereka Yang Selamat (LSPP, 2003), diseminasi seperti ini dapat menimbulkan kewaspadaan publik atau Public Awareness tentang praktek – praktek pemerintah berkenaan dengan pelanggaran HAM di seluruh penjuru negeri.


Menuju Penegakan HAM bagi Mutiara Hitam
Baju loreng – loreng itu mengingatkan saya pada reformasi TNI, yang ternyata belum sepenuhnya. Mereka masih menggunakan kekerasan, sama seperti yang dilakukan orde baru, untuk mendapat pengakuan yang “dipaksakan”.

Komnas HAM telah mendesak Panglima TNI untuk melakukan investigasi dan klarifikasi terhadap isi video penyiksaan tersebut. Tapi tampaknya sulit sebab mereka merasa tidak bersalah, terbukti dari pernyataan Pangdam Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun diatas. Jadi tampaknya hanya mimpi kalau menunggu mereka yang melakukan investigasi.

Ketentuan dalam Pasal 42 ayat 1 UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan “komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif”.

Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) kata “dapat” dalam pasal ini membuat kerancuan, kata tersebut harusnya diganti dengan kata “wajib”. Jadi lebih baik menggunakan Statuta Roma, yang dianut oleh ICC, Pasal 28 ayat 1 (a) yang dianut PBB, yang secara tegas menyatakan bahwa Komandan Militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.

Merujuk pada pertanggungjawaban yang diatur dalam Statuta Roma yang dianut ICC, paling tidak, ada satu nama yang diduga bertanggungjawab untuk diseret ke ICC pada kasus Pendeta Kindeman Gire, yaitu Mayjen Hotma Marbun (Pangdam Cenderawasih). Dan tidak tertutup kemungkinan perwira – perwira tinggi lain di atasnya.

Penantian panjang mutiara hitam di negeri ini tampaknya hanya angan - angan. Tidak ada tanda – tanda adanya perlindungan HAM bagi sang mutiara hitam. Kenyataan tentang pelanggaran HAM di Papua yang ditutupi, pasti suatu saat akan terulang kembali. Kasus – kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di Papua, harus menjadi refleksi bagi kita semua dan generasi mendatang untuk terus menuntut penegakan HAM khususnya di wilayah itu dan di Indonesia pada umumnya. Agar penantian panjang mutiara hitam berujung pada kenyataan.