TENTANG KELOMPOK PARAMILITER: BELAJAR DARI KASUS TIMOR TIMUR

Ada bagian dari sejarah kita yang tidak dengan jujur kita akui sampai saat ini. Kisah dalam sejarah itu bercerita mengenai kecerdasan negara. Sebuah kecerdasan yang digunakan untuk membelah masyarakat dan membiarkan pemangsaan sekelompok masyarakat terhadap masyarakat yang lain. Sebuah kecerdasan yang terus direproduksi untuk melanggengkan kekuasaan. Kecerdasan itu adalah membentuk sipil paramiliter

Masyarakat Indonesia banyak mengalami pengalaman buruk ketika organisasi paramiliter ada di antara mereka. Salah satu kasusnya adalah pembentukan milisi-milisi di Timor Timur menjelang referendum. Kasus itu menarik karena paramiliter menjadi mata rantai penting terjadinya pelanggaran berat HAM di wilayah itu.

Segera setelah Soeharto jatuh dari kekuasaannya pada tahun 1998, pemerintah Indonesia memberikan janji referendum (jajak pendapat) pada Timor Timur untuk memilih apakah hendak merdeka atau tetap menjadi bagian Republik Indonesia. Tentu saja, janji itu tidak pernah tulus. Ketidaktulusan itu segera tampak dari apa yang dilakukan pemerintah Indonesia setelah janji itu diluncurkan resmi, pemerintah membentuk banyak sekali kelompok milisi. Menurut CAVR, tidak kurang dari 25 kelompok milisi bentukan militer Indonesia di Timor Timur. Salah satunya, Kelompok Besi Merah Putih pimpinan Eurico Guteres. Berbeda dengan milisi yang telah ada sebelumnya, rekayasa dan dukungan militer di balik milisi-milisi baru ini amat jelas. Anggota milisi yang dibentuk sekarang memiliki kedekatan dengan tentara sejak dekade 1970-an, dan terus mendapat binaan dari tentara Indonesia.

Tujuan pembentukan milisi ini adalah untuk melancarkan strategi militeristis untuk mempengaruhi hasil referendum atau jajak pendapat rakyat mengenai opsi merdeka yang ditawarkan. Sebagaimana kelompok paramiliter lain, cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan teror dan konflik dalam masyarakat Timor Timur. Rezim militer Indonesia rupanya bertekad memenangkan hati rakyat Timor Timur dengan cara itu. Sebuah cara ironis dan kontradiktif terhadap wilayah dan rakyat yang waktu itu dianggap sebagai bagian integral Indonesia sendiri. Ironi yang memang sejak awal pendudukan sudah dan terus terjadi.

Menurut penelitian CAVR (Commission for Reception, Truth-seeking, and Reconciliation), jika Pemerintah Indonesia,setelah menempuh berbagai cara, gagal memenangkan referendum, mereka akan membumi hanguskan Timor Timur sebelum meninggalkannya. Dengan bumi hangus mereka ingin Timor Timur berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk daripada saat Indonesia menganeksasi daerah itu. Barangkali begitulah cara para pecundang melampiaskan angkara.

Adanya milisi bentukan militer membuat rakyat Timor Timur terbelah. Ada dua identitas yang terpisah dalam jurang yang panjang dan dalam. Identitas pertama adalah mereka yang pro-Indonesia. Identias yang kedua adalah kelompok pro-kemerdekaan. Dukungan terhadap kelompok milisi yang pro-Indonesia amat jelas. ABRI, misalnya memberikan dukungan pelatihan, logistik dan keuangan bagi kelompok ini.

Tidak hanya itu, mereka diskenariokan menjadi `wakil negara` untuk menciptakan `ketertiban`. Milisi ini ada dan seolah-olah punya wewenang yang amat besar terhadap rakyat Timor Timur sendiri. Dengan cara itu rezim militer hendak menghancurkan kemanusiaan rakyat Timor-Timur dengan memakai tangan rakyat Timor Timur sendiri. Dengan itu alibi bahwa perang dan pelanggaran HAM terjadi karena konflik horisontal yang spontan bisa menjadi dalih pembenar.

Di lapangan, milisi-milisi paramiliter bentukan Rezim Soeharto di Timor Timur terlibat dalam banyak sekali kejahatan pada masa Konsultasi Rakyat, pra jajak pendapat, hingga pasca jajak pendapat. Menurut laporan CAVR, mereka bertanggung jawab terhadap terusirnya 40 ribu hingga 60 ribu rakyat Timor Timur dari rumahnya yang kemudian mengakibatkan kelaparan. Mereka juga aktor yang hebat dalam menjalankan strategi militeristik untuk mempengaruhi keputusan hasil jajak pendapat. Selain itu, para milisi terlibat dalam pemerkosaan, perbudakan seksual, pembunuhan, penyiksaan dan penculikan. CAVR dalam Chega!  mencatat sekitar 1400-1500 orang Timor Timur terbunuh lewat tangan kelompok milisi.

Sejarah yang panjang
Keberhasilan militer melanggar HAM di Timor Timur dengan memanfaatkan organisasi paramiliter adalah hasil dari sebuah proses adaptasi perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah organsiasi paramiliter Indonesia diawali ketika Jepang membentuk lembaga sejenis Keibodan dan Seinendan guna memobilisasi kekuatan rakyat Indonesia untuk diperbantukan dalam perang Asia Timur Raya. Banyak mantan kesatuan itu yang kemudian menjadi bagian dari laskar-laskar pada masa revolusi kemerdekaan. Setelah Indonesia mendapat kemerdekaan secara penuh, demi efisiensi dan rasionalisasi angkatan perang, laskar-laskar dibubarkan.

Pada masa Soekarno, untuk mendukung kampanye melawan neo-kolonialisme-nya barisan paramiliter dibentuk untuk mendukung Soekarno untuk operasi militer Dwikora  (Operasi Ganyang Malaysia) dan Trikora (operasi merebut Papua Barat).

Ada perubahan tujuan pada masa Soeharto dalam hal pembentukan organisasi militer ini daripada sebelumnya. Jika pada masa Jepang tujuannya adalah  untuk pertahanan menghadapi ancaman dari luar, maka pada masa Soeharto, tujuannya adalah menghadapi rakyat sendiri. Tercatat dalam rangkaian peristiwa G 30 S, rezim militer memanfaatkan Banser NU untuk membantai orang-orang yang di-PKI-kan`oleh Soeharto di Jawa Timur.

Pada periode selanjutnya, Soeharto memanfaatkan organisasi semacam itu untuk menjaga stabilitas demi pembangunan ekonomi. Perlawanan Rakyat (Wanra) yang terlibat dalam operasi Dwikora dan Trikora pada masa Soekarno diganti namanya menjadi Hanra (pertahanan rakyat). Ada juga organisasi pertahanan sipil atau Hansip. Tugasnya, seperti disebut di atas, adalah untuk menjadi penjaga `perdamaian` dalam negeri demi mendukung penciptaan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintahan Soeharto, memang tidak menghadapi ancaman luar negeri . Soeharto- sebagaimana disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi Hadiz dalam buku Pemikiran Sosial-Politik Indonesia 1965-1999 - Soeharto adalah kawan terbaik bagi negara-negara barat (Amerika Serikat dan Inggris) untuk menghadapi komunisme. Oleh karena isu keamanan dan pertahanan lebih banyak menyangkut ancaman dari dalam negeri.

Konteks Kekinian
Pasca reformasi, keinginan penguasa untuk memanfaatkan kelompok paramiliter guna menciptakan pembelahan sosial dan melanggar hak asasi manusia belum pupus. Penguasa masih menerapkan prinsip otoritarianisme Orde Baru yang menganggap rakyat harus diperlakukan sebagai musuh. Hanya beberapa saat setelah Soeharto turun, Pam Swakarsa, sebuah organisasi paramiliter lain, dibentuk. Merekalah salah satu kelompok pelaksana lapangan pengamanan yang menghadapi mahasiswa ketika terjadi Peristiwa Semanggi.

Pembentukan Pam Swakarsa diikuti oleh organisasi-organisasi paramiliter yang berbasis etnis dan agama seperti FBR, FPI dan sebagainya. Setali tiga uang dengan kelompok paramiliter bentukan negara, kelompok paramiliter yang dibentuk masyarakat ini cenderung bertindak seperti `bos` atau warganegara kelas satu ketika berhadapan dengan `orang biasa`. Banyak data menunjukkan mereka sering bertindak di luar hukum seperti melakukan razia, penyerbuan dan sebagainya.

Negara yang dipersonifikasikan oleh pihak penegak hukum, anehnya, sering terlihat membiarkan tindakan mereka. Dalam banyak kesempatan mereka justru mengawal organisasi paramiliter itu ketika melakukan tindakan yang seharusnya merupakan wilayah wewenang penegak hukum saja. Timur Pradopo memberikan contoh buruk itu ketika menjadi Kapolda Metro Jaya. Ia justru merangkul salah satu organisasi paramiliter untuk menciptakan apa yang disebutnya sebagai ketertiban umum. Padahal mereka salah satu dari elemen yang menciptakan ketidaktertiban itu.

Pelanggaran HAM oleh negara tidak hanya bisa dimaknai dalam tindakan negara yang aktif, tetapi juga dalam hal kepasifan berupa pembiaran. Negara seharusnya melindungi hak-hak warga negaranya. Ketidakberfungsian negara yang disengaja, atau bahkan kooptasi terhadap kelompok  paramiliter yang melanggar HAM sesungguhnya adalah pelanggaran HAM juga.

Pembiaran itu terlihat juga dari ketidakmauan negara untuk membubarkan organisasi paramiliter tersebut. Pihak berwenang selalu berdalih bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul dilindungi undang-undang dasar. Alasan itu sekilas memang bagus, tapi  marilah lihat dari sisi lain. Setidaknya ada tiga alasan mengapa organisasi paramiliter harus dibubarkan. Pertama, mereka adalah sipil militeristik yang mempunyai karakter komandois, hirarkis dan uniformis. Mereka, sebagaimana militer murni, tidak terbiasa dengan prosedur dan nilai demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi terhadap perbedaan dan kesetaraan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin demokrasi diterapkan dalam masyarakat yang dicekoki kultur militer?

Kedua, penyebaran mereka makin meluas. FBR dan Forkabi, misalnya, baru-baru ini makin melebarkan sayap di daerah Depok dan Tangerang seiring dengan diselenggarakannya Pilkada. Sebelumnya organisasi Pemuda Pancasila dan FPI telah mempunyai cabang di seluruh wilayah Indonesia. Penyebaran organisasi paramiliter yang meluas akan makin membuat iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan demokrasi. Mereka, di banyak tempat (contohnya di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian Vedi Hadiz), makin berperan dalam memanipulasi prosedur demokrasi untuk melanggengkan penguasa.  Demokrasi yang sebenarnya tidak pernah dinikmati oleh rakyat secara keseluruhan. Demokrasi, dengan demikian hanyalah seremonial yang berhenti pada sesuatu yang simbolik. Ia hanya menguntungkan kelompok elit dan predatoris macam organisasi paramiliter.

Ketiga, modus pelanggaran HAM oleh sebuah organisasi paramiliter mempunyai kesamaan di semua wilayah. Karenanya, pandangan pihak berwenang yang selalu memandang bahwa pelanggaran itu hanya diakibatkan oleh oknum per oknum adalah sebuah pandangan yang naïf. Melihat karakter yang komandois, hirarkis dan uniformis, patut dicurigai adanya kesalahan institusional dalam pelanggaran tersebut. FPI, misalnya, di semua tempat selalu melakukan razia dan penyerbuan dengan modus yang sama pada setiap aksinya. Hal ini tidak patut jika selalu harus dilihat dari pelanggaran orang-perorang, namun harus ditelisik lebih jauh untuk menguji kesalahan institusional tadi.

Penutup
Ada saatnya kita harus belajar pada masa lalu. Dan, proses belajar tidak pernah terjadi jika tak ada kejujuran dan pengakuan yang tulus. Manipulasi sejarah demi ego pribadi dan nasionalisme sempit hanya akan melatenkan luka dan menciptakan kondisi bagi pelanggaran HAM serupa di masa yang akan datang

Timor Timur memberikan pelajaran pada kita. Ancaman pembelahan sosial dan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur, dalam bentuk lain, juga mengancam kita sekarang.

Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa organisasi paramiliter sesungguhnya tidak lebih dari kepanjangan tangan penguasa dan pembawa militerisme dalam masyarakat sipil. Ia adalah lawan dari demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia. Oleh karenanya, mendorong pembubaran organisasi paramiliter harus dipandang sebagai sebuah kewajiban bagi perjuangan demokrasi dan penegakkan hak-hak asasi manusia. Tanpa itu konsolidasi demokrasi tidak akan pernah secara paripurna tercipta.

(Penulis: Isto Widodo)