TENTANG KELOMPOK PARAMILITER: BELAJAR DARI KASUS TIMOR TIMUR
Ada bagian dari sejarah kita yang tidak
dengan jujur kita akui sampai saat ini. Kisah dalam sejarah itu bercerita
mengenai kecerdasan negara. Sebuah kecerdasan yang digunakan untuk membelah
masyarakat dan membiarkan pemangsaan sekelompok masyarakat terhadap masyarakat
yang lain. Sebuah kecerdasan yang terus direproduksi untuk melanggengkan
kekuasaan. Kecerdasan itu adalah membentuk sipil paramiliter.
Masyarakat Indonesia banyak mengalami pengalaman buruk ketika organisasi paramiliter ada di antara mereka. Salah satu kasusnya adalah pembentukan milisi-milisi di Timor Timur menjelang referendum. Kasus itu menarik karena paramiliter menjadi mata rantai penting terjadinya pelanggaran berat HAM di wilayah itu.
Masyarakat Indonesia banyak mengalami pengalaman buruk ketika organisasi paramiliter ada di antara mereka. Salah satu kasusnya adalah pembentukan milisi-milisi di Timor Timur menjelang referendum. Kasus itu menarik karena paramiliter menjadi mata rantai penting terjadinya pelanggaran berat HAM di wilayah itu.
Tujuan pembentukan milisi ini adalah
untuk melancarkan strategi militeristis untuk mempengaruhi hasil referendum atau
jajak pendapat rakyat mengenai opsi merdeka yang ditawarkan. Sebagaimana
kelompok paramiliter lain, cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan teror
dan konflik dalam masyarakat Timor Timur. Rezim militer Indonesia rupanya bertekad
memenangkan hati rakyat Timor Timur dengan cara itu. Sebuah cara ironis dan
kontradiktif terhadap wilayah dan rakyat yang waktu itu dianggap sebagai bagian
integral Indonesia sendiri. Ironi yang memang sejak awal pendudukan sudah dan
terus terjadi.
Menurut penelitian CAVR (Commission for Reception, Truth-seeking, and Reconciliation), jika
Pemerintah Indonesia,setelah menempuh berbagai cara, gagal memenangkan
referendum, mereka akan membumi hanguskan Timor Timur sebelum meninggalkannya.
Dengan bumi hangus mereka ingin Timor Timur berada dalam kondisi yang jauh lebih
buruk daripada saat Indonesia menganeksasi daerah itu. Barangkali begitulah
cara para pecundang melampiaskan angkara.
Adanya milisi bentukan militer membuat
rakyat Timor Timur terbelah. Ada dua identitas yang terpisah dalam jurang yang
panjang dan dalam. Identitas pertama adalah mereka yang
pro-Indonesia. Identias yang kedua adalah kelompok pro-kemerdekaan. Dukungan terhadap kelompok milisi yang pro-Indonesia amat
jelas. ABRI, misalnya memberikan dukungan pelatihan, logistik dan keuangan bagi
kelompok ini.
Tidak hanya itu, mereka diskenariokan menjadi `wakil negara`
untuk menciptakan `ketertiban`. Milisi ini ada dan seolah-olah punya wewenang
yang amat besar terhadap rakyat Timor Timur sendiri. Dengan cara itu rezim militer
hendak menghancurkan kemanusiaan rakyat Timor-Timur dengan memakai tangan rakyat
Timor Timur sendiri. Dengan itu alibi bahwa perang dan pelanggaran HAM terjadi
karena konflik horisontal yang spontan bisa menjadi dalih pembenar.
Di lapangan, milisi-milisi paramiliter
bentukan Rezim Soeharto di Timor Timur terlibat dalam banyak sekali kejahatan
pada masa Konsultasi Rakyat, pra jajak pendapat, hingga pasca
jajak pendapat. Menurut laporan CAVR, mereka bertanggung jawab terhadap
terusirnya 40 ribu hingga 60 ribu rakyat Timor Timur dari rumahnya yang
kemudian mengakibatkan kelaparan. Mereka juga aktor yang hebat dalam
menjalankan strategi militeristik untuk mempengaruhi keputusan hasil jajak
pendapat. Selain itu, para milisi terlibat dalam pemerkosaan, perbudakan
seksual, pembunuhan, penyiksaan dan penculikan. CAVR dalam Chega! mencatat sekitar
1400-1500 orang Timor Timur terbunuh lewat tangan kelompok milisi.
Sejarah yang
panjang
Keberhasilan militer melanggar HAM di Timor Timur dengan
memanfaatkan organisasi paramiliter adalah hasil dari sebuah proses adaptasi
perjalanan sejarah yang panjang. Sejarah organsiasi paramiliter Indonesia diawali ketika Jepang membentuk lembaga
sejenis Keibodan dan Seinendan guna memobilisasi kekuatan rakyat Indonesia
untuk diperbantukan dalam perang Asia Timur Raya. Banyak mantan kesatuan itu yang kemudian menjadi bagian
dari laskar-laskar pada masa revolusi kemerdekaan. Setelah Indonesia mendapat
kemerdekaan secara penuh, demi efisiensi dan rasionalisasi angkatan perang,
laskar-laskar dibubarkan.
Pada masa Soekarno, untuk mendukung
kampanye melawan neo-kolonialisme-nya barisan paramiliter dibentuk untuk
mendukung Soekarno untuk operasi militer Dwikora (Operasi Ganyang Malaysia) dan Trikora
(operasi merebut Papua Barat).
Ada perubahan tujuan pada masa Soeharto dalam hal
pembentukan organisasi militer ini daripada sebelumnya. Jika pada masa Jepang
tujuannya adalah untuk pertahanan
menghadapi ancaman dari luar, maka pada masa Soeharto, tujuannya adalah
menghadapi rakyat sendiri. Tercatat dalam rangkaian peristiwa G 30 S, rezim
militer memanfaatkan Banser NU untuk membantai orang-orang yang di-PKI-kan`oleh
Soeharto di Jawa Timur.
Pada periode selanjutnya, Soeharto memanfaatkan organisasi
semacam itu untuk menjaga stabilitas demi pembangunan ekonomi. Perlawanan
Rakyat (Wanra) yang terlibat dalam operasi Dwikora dan Trikora pada masa
Soekarno diganti namanya menjadi Hanra (pertahanan rakyat). Ada juga organisasi pertahanan sipil atau
Hansip. Tugasnya, seperti disebut di atas, adalah untuk menjadi penjaga
`perdamaian` dalam negeri demi mendukung penciptaan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi. Pemerintahan Soeharto, memang tidak menghadapi ancaman
luar negeri . Soeharto- sebagaimana disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi
Hadiz dalam buku Pemikiran Sosial-Politik
Indonesia 1965-1999 - Soeharto adalah kawan terbaik bagi negara-negara
barat (Amerika Serikat dan Inggris) untuk menghadapi komunisme. Oleh karena isu keamanan dan pertahanan lebih banyak
menyangkut ancaman dari dalam negeri.
Konteks Kekinian
Pasca reformasi, keinginan penguasa untuk memanfaatkan
kelompok paramiliter guna menciptakan pembelahan sosial dan melanggar hak asasi
manusia belum pupus. Penguasa masih
menerapkan prinsip otoritarianisme Orde Baru yang menganggap rakyat harus
diperlakukan sebagai musuh. Hanya beberapa saat setelah Soeharto turun, Pam
Swakarsa, sebuah organisasi paramiliter lain, dibentuk. Merekalah salah satu
kelompok pelaksana lapangan pengamanan yang menghadapi mahasiswa ketika terjadi
Peristiwa Semanggi.
Pembentukan Pam Swakarsa diikuti oleh
organisasi-organisasi paramiliter yang berbasis etnis dan agama seperti FBR, FPI
dan sebagainya. Setali tiga uang dengan kelompok paramiliter bentukan negara,
kelompok paramiliter yang dibentuk masyarakat ini cenderung bertindak seperti
`bos` atau warganegara kelas satu ketika berhadapan dengan `orang biasa`. Banyak
data menunjukkan mereka sering bertindak di luar hukum seperti melakukan razia,
penyerbuan dan sebagainya.
Negara yang dipersonifikasikan oleh
pihak penegak hukum, anehnya, sering terlihat membiarkan tindakan mereka. Dalam
banyak kesempatan mereka justru mengawal organisasi paramiliter itu ketika
melakukan tindakan yang seharusnya merupakan wilayah wewenang penegak hukum
saja. Timur Pradopo memberikan contoh buruk itu ketika menjadi Kapolda Metro
Jaya. Ia justru merangkul salah satu organisasi paramiliter untuk menciptakan apa
yang disebutnya sebagai ketertiban umum. Padahal mereka salah satu dari elemen
yang menciptakan ketidaktertiban itu.
Pelanggaran HAM oleh negara tidak hanya
bisa dimaknai dalam tindakan negara yang aktif, tetapi juga dalam hal kepasifan
berupa pembiaran. Negara seharusnya melindungi hak-hak warga negaranya. Ketidakberfungsian
negara yang disengaja, atau bahkan kooptasi terhadap kelompok paramiliter yang melanggar HAM sesungguhnya
adalah pelanggaran HAM juga.
Pembiaran itu terlihat juga dari
ketidakmauan negara untuk membubarkan organisasi paramiliter tersebut. Pihak
berwenang selalu berdalih bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul dilindungi
undang-undang dasar. Alasan itu sekilas memang bagus, tapi marilah lihat dari sisi lain. Setidaknya ada tiga
alasan mengapa organisasi paramiliter harus dibubarkan. Pertama, mereka adalah sipil militeristik yang mempunyai karakter
komandois, hirarkis dan uniformis. Mereka, sebagaimana militer murni, tidak
terbiasa dengan prosedur dan nilai demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi
terhadap perbedaan dan kesetaraan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin demokrasi
diterapkan dalam masyarakat yang dicekoki kultur militer?
Kedua, penyebaran mereka
makin meluas. FBR dan Forkabi, misalnya, baru-baru ini makin melebarkan sayap
di daerah Depok dan Tangerang seiring dengan diselenggarakannya Pilkada.
Sebelumnya organisasi Pemuda Pancasila dan FPI telah mempunyai cabang di
seluruh wilayah Indonesia. Penyebaran organisasi paramiliter yang meluas akan
makin membuat iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan demokrasi. Mereka, di
banyak tempat (contohnya di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara sebagaimana ditunjukkan
oleh penelitian Vedi Hadiz), makin berperan dalam memanipulasi prosedur
demokrasi untuk melanggengkan penguasa.
Demokrasi yang sebenarnya tidak pernah dinikmati oleh rakyat secara
keseluruhan. Demokrasi, dengan demikian hanyalah seremonial yang berhenti pada
sesuatu yang simbolik. Ia hanya menguntungkan kelompok elit dan predatoris
macam organisasi paramiliter.
Ketiga, modus
pelanggaran HAM oleh sebuah organisasi paramiliter mempunyai kesamaan di semua
wilayah. Karenanya, pandangan pihak berwenang yang selalu memandang bahwa
pelanggaran itu hanya diakibatkan oleh oknum per oknum adalah sebuah pandangan
yang naïf. Melihat karakter yang komandois, hirarkis dan uniformis, patut
dicurigai adanya kesalahan institusional dalam pelanggaran tersebut. FPI,
misalnya, di semua tempat selalu melakukan razia dan penyerbuan dengan modus
yang sama pada setiap aksinya. Hal ini tidak patut jika selalu harus dilihat
dari pelanggaran orang-perorang, namun harus ditelisik lebih jauh untuk menguji
kesalahan institusional tadi.
Penutup
Timor Timur memberikan pelajaran pada
kita. Ancaman pembelahan sosial dan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor
Timur, dalam bentuk lain, juga mengancam kita sekarang.
Yang ingin ditekankan di sini adalah
bahwa organisasi paramiliter sesungguhnya tidak lebih dari kepanjangan tangan
penguasa dan pembawa militerisme dalam masyarakat sipil. Ia adalah lawan dari
demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia. Oleh karenanya, mendorong
pembubaran organisasi paramiliter harus dipandang sebagai sebuah kewajiban bagi
perjuangan demokrasi dan penegakkan hak-hak asasi manusia. Tanpa
itu konsolidasi demokrasi tidak akan pernah secara paripurna tercipta.
(Penulis: Isto Widodo)