CERPEN CINTA SEDIH ROMANTIS TERBARU: MENCARI HILANG

M E N C A R I      H I L A N G

I’m done when you’re gone

(the other shape of love)

 

(Cerpen MENCARI HILANG ini adalah sebuah cerpen terbaru yang sedih menyayat hati tentang sebuah perpisahan, tentang sebuah cinta sejati. Enam tahun bersama dan tiba-tiba berakhir karena jarak. Cerpen ini juga akan menceritakan bagaimana cinta sejati yang sesungguhnya. Kisah cinta dalam cerpen ini sebagiannya dikisahkan secara tersirat. Dimana kisah cinta dalam cerpen ini juga akan mengkaji apakah cinta sejati itu hasil dari perjuangan atau malah sebaliknya yaitu merupakan takdir?

Jika kamu tertarik pada cerpen sedih tentang cinta sejati  ini, mohon tinggalkan komentar sebanyak mungkin dan follow blog ini agar penulis dengan semangat mempercepat penulisan cerpen ini. Terimakasih...

Cerpen Cinta MENCARI HILANG ini diangkat dari beberapa kisah nyata yang hampir mirip. Beberapa konflik yang dialami tokoh-tokohnya dicoba dirangkum menjadi satu di cerpen ini. Karena itu saya masih menunggu akhir yang sebenarnya dari beberapa kisah-kisah nyata tersebut sehingga cerpen ini masih dalam tahap penulisan.)


UPDATE: 24/07/2020

 

Sinopsis

Pria, 32 tahun, Richard, berkelana dalam belenggunya setelah berpisah dengan tunangannya. Arti seluruh enam tahun kehidupannya adalah seorang Neyra.  Kini ia sebatang kara. Seperti deretan konsonan tanpa vokal, susunan huruf yang tak dapat membentuk satu katapun. Atau sebuah kata yang kehilangan makna.

Rontah, pinta, dan seluruh doanya merajut “menghapus Neyra dari lara yang meresap ke dalam sarafnya.’’

Hidupnya kini adalah kepingan hati yang berserakan. Menunggu tanda, menanti akhir dari penderitaan yang tak kunjung usai.

Namun, di saat ia terperosok dalam jurang kehampaan, kenyataan datang menghampiri—hidup harus terus melangkah. Setiap hari, Richard berpapasan dengan Neyra, tetapi bayangan itu tak lagi memancarkan sinar yang dikenalnya. Ketika harapan untuk bangkit perlahan mulai merekah, kenangan manis meresah, merasuk dengan lembut, membuka luka-luka lama yang tersembunyi dalam kegelapan.

Kini, Richard terpaksa menelusuri jalan untuk bangkit dari kehampaan yang menjerat jiwanya. Dalam pencarian yang penuh liku, ia menyadari bahwa rindu adalah jembatan halus antara luka dan kekuatan, membawa harapan yang bersinar lembut, seperti embun pagi yang menjanjikan awal baru di cakrawala hidupnya.

 

KALAH
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong gelap nan sempit, dimana aku memiliki mata tapi tak bisa melihat. 

Dalam setiap jejak rasa hampa merayap, seperti bayang yang tak pernah kutangkap.

Aku.... merasa kalah.
Di puncak bukit terjal aku berdiri, ke setiap sudutnya kutertatih mencari arah. 

Turunan yang kutemui hanya kesunyian, derap langkahku sia-sia.

Dan aku.... merasa kalah.
Jalan kita terpisah, yang tak pernah sampai di titik temu, meski hati menginginkanmu sekeras batu.

Cinta ini bagaikan sungai yang mengalir tanpa ujung, di tepi yang kering, rinduku menyaru debu. 



**BAB I: ............................**


Di sebuah kota yang dipenuhi hiruk-pikuk kehidupan, malam telah turun dengan hujan yang tak kunjung reda. Richard, pria berusia 32 tahun, sempoyongan berjalan di sepanjang trotoar yang basah, seperti layang-layang putus yang terombang-ambing di tengah badai.


Hujan rintik-rintik memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan bayangan-bayangan gelap yang menari-nari di sekelilingnya, menambah kesedihan yang menyelubungi langkahnya.

Setiap langkah terasa berat, seakan belenggu yang tak kasat mata mengikat kakinya, membuatnya semakin terpuruk dalam kesedihan yang tak berujung. Di dalam benaknya, semua kenangan bersatu membentuk satu nama: Neyra.


Semakin ia berusaha melangkah maju, semakin kuat rasa rindu itu mencengkeram hatinya, seperti akar yang mencengkeram bumi. Hujan deras membasahi wajahnya, seolah mencoba menghapus jejak air mata yang tak pernah ia keluarkan, menyalurkan kesedihan ke dalam setiap tetesnya.


Namun, di tengah kebisingan gemuruh hujan, ia merasakan sesuatu yang aneh—seolah ada sepasang mata yang mengawasinya dari kegelapan malam, mengintai setiap gerak langkahnya. Richard menoleh, namun hanya kegelapan yang menyambutnya.

Perasaan was-was menyelimutinya, menggelinding di dalam jiwanya. Semakin ia berjalan, semakin kuat rasa takut itu merayap ke dalam pikiran, seperti ular yang melingkari hati. Semua indra seolah melaporkan bahwa ia tidak sendirian di malam yang kelam ini. Namun, meskipun berusaha menepisnya, langkahnya semakin berat, seakan kakinya terbenam dalam lumpur kenangan.


Tiba-tiba, segalanya menjadi gelap dan nihil. Richard merasa tubuhnya runtuh, dan sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, dia jatuh pingsan ke trotoar yang basah, dikelilingi oleh hujan yang terus menari, menutupi segala rasa dan kenangan yang pernah ada. 


Sungguh pria yang malang....


Di suatu tempat antah berantah nan samar, mendapati dirinya tergeletak pingsan di dalam mobilnya. Kegelapan menyelimuti, hanya ada suara deru angin yang menambah suasana mencekam. Dalam kebisingan hening itu, sebuah tangisan perempuan memecah kesunyian. Suaranya histeris, penuh kepanikan, meneriaki namanya. “Richard! Richard!”


Dengan wajah bersimbah darah, ia merasakan kesakitan yang menyengat di kepalanya, seperti petir yang menyambar dalam badai. Darah menutupi wajahnya, mengaburkan pandangannya, dan menciptakan kabut hitam di sekelilingnya. Dalam keadaan bingung, dia berusaha mencari sosok perempuan itu, tapi sekilas wajahnya tersamar dan kemudian menghilang, lenyap dalam kegelapan malam. Mencoba berteriak, ketakutan menyelimutinya, seperti selimut berat yang menindih napasnya, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.


Dengan terengah-engah, Richard terbangun dari mimpi buruknya. Napasnya tak teratur, dan jantungnya berdegup kencang, seperti guntur di kejauhan. Dia meraba-raba keningnya, tidak ada luka, tidak ada darah. Hanya peluh dingin yang membasahi kemeja putihnya, membanjiri harapannya. Ia menatap jam dinding yang berdetak pelan; sudah pukul 6 pagi.


Hari ini adalah hari pertama di bulan keduanya ia bekerja di perusahaan yang terkenal. Semangat baru membara di dalam dirinya, menepis sisa-sisa ketakutan dari mimpi semalam. Richard bangkit, merapikan diri, dan mengenakan kemeja putih kesayangannya, berusaha menanamkan keyakinan di dalam hatinya bahwa hari ini akan menjadi awal yang baik.


Begitu Richard keluar dari rumah, ia mendapati Bapak Pet yang hendak membuka toko bangunan kecilnya. Pagi itu, Bapak Pet terlihat ceria, dengan senyum lebar yang menyapa Richard. “Selamat pagi, Richard! Siap untuk hari yang baru?” tanyanya, sambil menggeser kunci di pintu toko. “Selamat pagi, Pak Pet! Semangat sekali ya hari ini!” jawab Richard, merespons senyuman hangat itu. Dia menghampiri Bapak Pet, menyempatkan diri untuk berbincang sebentar. “Ini hari baik untuk memulai proyek baru. Ada yang ingin kau bangun hari ini?” Bapak Pet bertanya sambil mengangkat kotak alat dari dalam toko. Richard tertawa kecil. “Belum ada rencana, Pak. Tapi siapa tahu, mungkin saya akan menanam lebih banyak pohon. Seperti pohon kecil di depan rumah.” “Mau menambah hijau di lingkungan kita? Bagus sekali!” Bapak Pet mengangguk, matanya bersinar. “Pohon-pohon itu penting, bisa bikin suasana lebih sejuk.” Setelah mengucapkan selamat tinggal, Richard melanjutkan langkahnya.


Ia menyeberangi jalan, menyusuri trotoar yang basah oleh hujan semalam. Dengan semangat, ia menyirami pohon kecil di depan rumahnya, menyadari bahwa rutinitas ini memberi rasa tenang sebelum memulai hari yang panjang. Setelah ritualnya selesai, Richard mengenakan helm dan mengendarai sepeda motornya. Suara mesin yang bertenaga mengisi udara pagi yang segar, dan ia melaju di jalanan yang ramai, dengan pepohonan dan bangunan futuristik menghiasi pandangannya.


Di sepanjang perjalanan, ia menyapa tetangga-tetangganya yang sedang beraktivitas, “Selamat pagi! Semoga hari ini membawa keberuntungan!” Suara cerianya, meskipun disertai bayang-bayang duka di hatinya, membuat banyak orang tersenyum. Dalam perjalanan menuju kantor, Richard merasakan semangat baru membara dalam dirinya. Ia berusaha untuk tetap positif, meski kenangan akan Neyra selalu mengintai di sudut pikirannya. Setiap detik, ia bertekad untuk terus melangkah maju, mencari harapan di tengah badai yang tak kunjung reda.


Sesampainya di kantor, suasana ramai dan aroma kopi menggugah semangatnya. Richard menapaki jalan menuju ruangannya dengan penuh harapan. Namun, saat ia membuka pintu ruangan, pandangannya terhenti pada sebuah amplop putih yang tergeletak di mejanya.


Dengan penuh rasa penasaran, dia mengambil amplop itu dan membukanya. Dan seketika, jantungnya bergetar. Undangan itu terhampar di hadapannya, dengan nama yang begitu akrab—Neyra.


Undangan tunangan Neyra dengan seorang pria yang tidak asing; teman lama Richard yang cukup mapan. Air mata tiba-tiba menggenang di matanya, dan ia merasa seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya, seperti gedung yang ambruk di tengah badai.


Rindu dan luka lama bergejolak dalam dirinya. “Setega itukah Neyra?” pikirnya, menatap undangan itu dengan hati yang penuh kepedihan. Kenangan indah saat mereka bersama tiba-tiba melintas kembali—senyuman Neyra, tawa mereka di tengah hujan, pandangan penuh cinta saat berbagi impian.


Momen-momen mesra itu memenuhi seluruh kepala Richard, menegaskan betapa dalamnya luka yang terpendam.


Dalam sekejap, suasana riuh di sekitar seolah menghilang.


Hanya ada Richard, undangan, dan kenangan yang menyakitkan. Ia merasakan seolah waktu berhenti, terperangkap dalam gelombang nostalgia yang menyakitkan. Setiap momen bersamanya kembali menghantui, membuatnya bertanya-tanya: apakah semua itu sia-sia?


Dengan tangan bergetar, Richard menyimpan undangan itu kembali ke dalam amplop. Di ruang kantornya yang ramai, dia merasa sepi. Rasa sakit itu datang kembali, merasuki setiap pori-pori jiwanya. Namun, di tengah badai kenangan yang melanda, satu hal mulai jelas: hidupnya tidak akan pernah sama lagi, dan ia harus menemukan cara untuk bangkit dari semua ini.


end of BAB I



Tatap mataku sedalam sunyi, sampai kau berhenti mencari. Dan kau kan temukan sepasang tungkai bergerigi. Bukan untuk menyakiti. Pun melindungi diri. Satunya mencangkul untuk mencari. Satunya lagi menggali untuk sembunyi. Dalam petualangan yang begitu berat akan kehilangan hidup yang pernah tersesak arti. Nalar ini terus berimajinasi pada nurani yang kehilangan nalurinya. Hingga akupun tersesat. Menabur benih di tanah berbatu. Setelah sekian lamanya bersama, ke dalam kail kumendekap, kusadari sedang terperangkap. Lalu kau  lepaskan. Ke dalam air yang mengalir, aku adalah seekor ikan mati, yang kau biarkan terhanyut.  

 

Aku selalu sabar dalam menunggu. Kemudian kesempatan itu datang. Lalu aku bisa belajar dan akupun berhasil. Tapi semuanya tidak bertahan lama. Yang kemudian hati dengan sigap menyimpulkan bahwa sejauh ini kamu masih yang terbaik. Kalau ditanya selama ini ngapain aja? "Seluruh hidupku sebelumnya masih tersimpan rapi dalam senyummu. Coba senyum :)"


CERPEN "MENCARI HILANG" INI MASIH DALAM PROSES PENULISAN 

Ketika hujan tak lagi diharapkan ia akan menjadi sebuah hukuman. Malangnya kau acuhkan. Beruntungnya kan kau pikirkan, ada yang telah kau hilangkan. Itu mungkin sebuah pilihan. Barangkali benar adalah inginmu, maka ada yang harus kau kembalikan. Pohon rindang yang dulu kita tanam. Bahwa kita masih memiliki urusan yang belum terselesaikan. Kitalah yang bertaruh menanamnya, berpaut mesrah dalam keringat berdarah untuk bermekarnya sejuta asa.

 

Pergimu seakan membawa serta angin hingga kini daun-daunnya berhenti menari. Kemudian kepadakulah badai itu datang mengamuk. Gugurlah mereka, menyirnakan asa, menyisahkan duka, melaratkan tanya, mengadakan permusuhan antara nalar dan nurani. Pintaku, kembalilah sejenak. Pulanglah walau hanya untuk sebentar, sebelum badai kembali semakin menjadi-jadi,. Leraikan nalar dan nuraniku dari pertikaian yang kau uraikan. Sebelum simpul senyumku mengikhlaskanmu pergi.

 

Itulah mengapa senduku di setiap langit yang mulai gelap, mendung bersama pertengkaran hebatnya. Jika kembalimu tak sampai, ataukah niatmu yang kau tak temui, maka tolonglah aku, tolong... siapkan saja tandu untuk rindu yang tak pernah usai. Karena ia lelah menanti tak ditemu. Biarkan ia dalam pembaringannya mengartikan letih. Yang kepadamu, rindu... sekalipun melihat, kau tak menanggap. Mendengar, kau tak mengerti.

 

Kepada: Rindu,

Kembalilah! Bawa serta tangismu. Dari tempat yang ingin kau tuju, kau hanya akan berkelana. Sebab dengan nya ia sedang berbahagia. Kukan menjemputmu di persimpangan benci dan cintamu, agar aku dapat menawarkan letih sampai dikau tak ingin dalaminya lagi. Rindu.... pulanglah.

 



 (DITUNGGU VERSI LENGKAPNYA)

TERIMAKASIH



4 comments:

Powered by Blogger.