BALADA PILU
cerpen sedih menyayat hati tentang kehilangan seorang ibu
Mengapa hidup dengan kejam membiarkan aku menjumpai perpisahan yang paling kutakutkan saat ini?
Sang fajar merangkak dari tempat peraduan yang membiaskan kehangatan di setiap cahayanya. Aku terbangun dari tidurku lalu berdoa dan mensyukuri hari baru ini. Setelah mandi aku diminta mama untuk memasak bubur ayam kesukaannya. Sejenak aku bahagia karena aku berpikir bahwa mama telah melupakan pertengkaranku dengannya sore kemarin. Dari wajahnya tak tergambar sedikitpun marah atau kecewa. Aku lalu memberanikan diriku untuk meminta maaf padanya. Ia tersenyum lalu mengecup keningku. Legah dan bahagia menyelimutiku.
“inilah
hari terakhir kau memanggilku mama....” katanya sambil menghabiskan sisa bubur
ayam yang kuhidangkan.
Aku terperanjat dalam keheningan. Kecewa, marah, sakit hati dan takut. Dalam kehancuran aku melangkah menuju sekolah. Sejenak semuanya berubah. Ada kekalutan menyeringai di hatiku yang memaksaku untuk menangis.
Adakah
aku tak bisa dimaafkan lagi hanya karena pikiranku yang membatu yang membuatku menentang ingin mama untuk melanjutkan
kuliah di Jakarta? Tak banyak yang ku tahu di luar sana, tak banyak bekalku untuk
perjalanan yang jauh. Sedang kata mereka kota itu kejam. Kekuatan apa yang ada padaku? Aku mencintai tanah asalku
ini. Mengapa harus pergi jauh jika di sini masih ada tempat buatku? Flores menyajikan banyak hal indah untukku,
semua yang tak mungkin bisa hilang dari jiwaku. Mama dan Opa adalah salah
satunya. Aku tak ingin jauh.
Lalu
tentang mimpi dan harapan mereka atasku, sebenarnya tak ada yang salah. Aku
membenarkan alasan mereka yang ingin menjadikan aku besar di tempat yang lebih
besar dengan menjala tak hanya ilmu
dan keterampilan tetapi juga cerita tentang perjalanan yang panjang, jauh dan
berbeda untuk kubawa pulang sebagai kebanggan yang mungkin bisa kuteruskan untuk
membangun tanah Floresku. Betapa inilah cita-cita besar mereka dan aku,.. ah
kekhawatiranku atas keadaan merekalah yang membuatku urung. Aku hanya ingin di
sini bersama mereka. Menemani dan menjaga mereka.
Sepanjang
perjalanan menuju sekolah, batinku terus bergejolak. Ingin rasanya aku
meneriakan rasa sakit ini pada langit yang memayungi
pijak demi pijakku. Mengapa mama tak melihat kekhawatiranku atas dirinya dan
Opa?
Aku masih membatin. Apalagi sampai saat ini aku masih belum tahu bagaimana hasil pemeriksaan darah mama kemarin di rumah sakit. Yah, seperti biasanya, aku selalu dianggap anak kecil yang tak boleh tahu dan mengerti maasalah-masalah orang tua termasuk sakit yang mereka derita. Kekecewaanku semakin bertambah mengingat hal itu.
Aku masih membatin. Apalagi sampai saat ini aku masih belum tahu bagaimana hasil pemeriksaan darah mama kemarin di rumah sakit. Yah, seperti biasanya, aku selalu dianggap anak kecil yang tak boleh tahu dan mengerti maasalah-masalah orang tua termasuk sakit yang mereka derita. Kekecewaanku semakin bertambah mengingat hal itu.
Setibanya
di sekolah, aku berusaha membuang jauh masalahku dan fokus pada ujian praktek
olah raga sebagai salah satu mata pelajaran Ujian Akhir Sekolah. Bagaimanapun,
sebentar lagi aku akan menghadapi kelulusan SMA. Ingin kusongsong prestasi yang
baik di hari itu, untuk itulah aku harus tetap bersemangat.
Pukul
09.00 WIT, kepala sekolah memanggilku. “pentas Hari Guru”, pikirku. Aku bertugas
menampilakan monolog di hari itu.
“kamu harus sabar dan kuat.” Kepala sekolah mengingatkanku. Jantungku berdegup begitu kencang, seluruh tubuhku bergetar. Apa yang terjadi? Tanyaku tanpa suara waktu aku dihantar pulang ke rumah dan semua guru juga teman-temanku menatap aku penuh iba. Deru nafasku seperti menggerutu, angin berhembus bagai balada pilu, bahkan nyaris tak ada kicauan burung yang menghibur aku.
Dari
kejauhan, sayup-sayup terdengar nyanyian duka dan ratapan. Aku semakin tak
karuan. Banyak orang berkumpul di halaman rumahku dan benar saja ketakutanku
menjadi nyata.
Tangisku pecah waktu kudapati mama tak bernyawa di atas pembaringan. Kenyataan ini terlalu pahit bagiku. Mengapa hidup dengan kejam membiarkan aku menjumpai perpisahan yang paling kutakutkan saat ini?
Mama...
Tak ada kata lagi selain raunganku yang menggiring air mata dan pelukanku untuk mama. “inilah hari terakhir kau memanggilku mama” kalimat itu bak salam pisah paling keji yang menari-nari di atas piluku. Sementara wajah mama membeku bersama senyumnya.
TENTANG PENULIS:
Terharu aku baca kisah ini...
ReplyDeletemakasih udah mau mampir n baca cerpennya yoo
Deletecerpennya bagus gan, cuma kepanjangan :(
DeleteWoww...
ReplyDeleteJadi ingat ortu...
makasih udah berkunjung :)
Deletejadi ingat ibuku gan. artikel yang menarik, tertarik ane
ReplyDeleteJadi ingat ibu saya gan.. makasi ya, sudah mengingatkan keluarga
ReplyDeletejadi ingat ibu gan. Makasi ya sudah mengingatkan saya
ReplyDeletejadi ingat ibu nih gan. nice artikel
ReplyDeletemakasi gan cerpennya sudah mengingatkan saya sama ortu
ReplyDeleteLuar biasa
ReplyDeleteused translator to understand what u have written . Keep the translator tool aside. please ..
ReplyDeleteTerharu adek bang :(
ReplyDelete