KISAH INSPIRATIF: SEJAK DALAM KANDUNGAN KITA TERLATIH UNTUK MENANG

kisah inspiratif lahir untuk menang
@anggiaprilianin
Sejak dalam kandungan kita diajarkan untuk berjuang, diutus untuk bertarung. Berjuang mencapai sel telur dengan kecepatan 10 ml per jam. Bertarung melawan 39 juta 999 ribu sperma lainnya. Kita terlahir sebagai pemenang setelah bertahan selama 9 bulan dalam kandungan. Kita tidak akan pernah ada jika terlahir karena kekalahan. 


Jika sesuatu memungkinkan bagi kebanyakan orang maka itu juga berlaku bagimu. Tentang sebuah kesuksessan dimana masalahnya adalah bagaimana kita menempatakn diri dengan tepat pada sang waktu. Menggapainya hari ini atau di kemudian waktu yang memungkinkan.


SANG GADIS DAN MIMPI BESARNYA


Ketika dunia menawarkanmu berbagai hal yang membuatmu rakus dan di lain sisi kamu memahami dirimu bukanlah dewa yang berhak atas segalanya, disitulah kamu dapat mengerti bahwa hidup adalah pilihan. Memilih beberapa di antaranya yang sesuai keinginan hatimu, itu adalah keinginan yang kemudian kamu sebut mimpi. Kemudian dirimu terhalang, terjebak seolah berada dalam dua pilihan. Dan kamu ingin mengatasinya namun kamu tidak bisa, kemudian kamu belajar mencari solusi tapi sama saja. Bukan karna kamu tidak mampu, sebenarnya kamu cukup sanggup memecahkannya. Hanya pikiran dan perasaanmu masih dililiti dua buah pilihan. Ya, kira-kira begitulah yang terjadi pada diri seorang gadis kesayangan Papa Mamanya semasa ia duduk di bangku SMA di tiga tahun silam.

Bayu senja kelabu menyapa ketinggian Wae Rebo. Sudah menjadi rahasia tersendiri untuk sebuah kampung di atas awan. Matahari yang belum gemulai berdiri di atas sana, sinarnya butuh perjuangan melawan kabut untuk menyapa ribuan anak sekolah serta para guru sekecamatan Satarmese Barat hingga warga yang turut mengambil peran dalam rangka persiapan hari Pramuka yang akan diselenggarakan di keesokan harinya; yang sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Kabut yang perlahan menguliti kampung desa, membubarkan aktivitas mereka yang di dalamnya, mengubah suasana, riuh hingga sunyi. Namun tidak untuk sang gadis yang sedari tadi duduk diam dengan tatapan sayu di ujung bangku bawah pohon sisi tenggara lapangan tengah kampung. Desahan nafasnya merupakan lirik-lirik lagu dengan alunan melodi dan kerutan dahinya yang kian memuncak pertanda ia sedang dalam sebuah harapan rumit, dan dari kesemuanya itu layaknya jelas nyanyian sebuah lagu melo.
Dari kejauhan di tengah pepohonan rindang yang meliputi lapangan itu seekor Merpati menaruh tatap tetap ke arah sang gadis, kicauan demi kicauan merdunya seolah hanya dia yang mempedulikan kesedihan mendera sang gadis. Ah... mungkin hanya seekor burung nakal yang terpesona oleh paras cantik sang gadis, yang anggunnya semakin terlukiskan oleh tambah merdu kicauan kala sepoi angin menjuntai hitam rambutnya tanpa hambatan. Sepersekian detik kicauan burung itu berhenti dan gerak-geriknya yang kian resah dari satu ke ranting lainnya lalu mukanya secepat kilat berubah layaknya angry bird. Rupanya dikarenakan seorang pria seusia gadis itu datang menghampiri si gadis.
“kenapa kamu memberi noda dalam keindahan yang sempurna ini? Kenapa harus merasa berat hati sebelum tampil besok, Hil? Bukankah ini mimpi kita semua; diundang tampil mementaskan drum band di hari pramuka di kampung puncak surga ini? Berilah senyumanmu pada Pulau Mules depan sana, ia pasti akan membalasnya,” hibur pria dengan paras tanpa noda yang baru saja menghampiri sang gadis. Dan segera sang gadis mendiplomasi seisi relung hatinya, “kenapa harus ada hujan sebelum kita menikmati pelangi? Dapatkah kamu memberiku alasan yang kuat untuk mengubur mimpi besarku ini? Lihatlah, Roy, lukanya begitu dalam sehingga menjadi penghambat setiap langkah kakiku.” Rupanya mimik wajah pria bernama Roy yang tiba-tiba terhempas dan menjadi buram itu dapat mengerti kesedihan serta kegelisahan yang melanda sang gadis. Didaptkannya mulus kaki sang gadis dalam genggamannya dan mengartikan luka yang dilihatnya, “ya. Sebaiknya kamu harus mengubur mimpimu kali ini. Luka di kakimu mengharuskan kamu untuk beristirahat dulu. Siapa yang menabur obatnya?” Seperti pelangi sehabis hujan namun ayu wajah sang gadis menjadikan pelangi selagi hujan, derai air matanya terjun bebas membasahi lonjong pipi imutnya menimbulkan empati tinggi dari Roy dan sedikit membuatnya panik, “hei. Hil. Jangan nangis. Lukanya tak dapat membohongi semuanya dan yang pastinya Kakak Pembina menyarankanmu untuk tidak tampil besok kan?” dengan canggung sang gadis mengangguk-anggukan kepalanya sembari uluran tangan Roy dengan sapu tangan oleh jemarinya mengusap air mata kesedihan sang gadis.

Hari itupun berlalu dilandai kesedihan, dan seekor merpati dari kejauhan rindangnya pepohohan di satu sudut lapangan disana pun turut merasakannya, kembali menuju sangkarnya dalam diam, menutup harinya tanpa kicauan tak seperti sedia kala.

Jika sesuatu yang begitu berarti terlewatkan, hari terasa begitu cepat berlalu dan di lain sisi sebuah harapan terdalam sang gadis ingin memperlambatnya sembari menunggu kesembuhan kakinya. Dan saat sesuatu yang begitu berat untuk dilewati ingin rasanya mempercepat laju sang waktu. “aku hanya tidak terlalu tepat menaruh diri pada sang waktu, kejadian yang memberi luka di kakiku sebenarnya hanya diriku yang kurang beruntung berjalan melewati jalan bebatuan tadi siang. Mungkin besok bukanlah hariku dan hari ini menjadi pengubur mimpiku. Inilah kesempatan pertama dan paling penting mengingat besok Mama dan Papa datang melihatku menjalani tugasku sebagai seorang mayoret. Dan bagaimana jadinya pentas drumband tanpa seorang mayoret? Tuhan...?” Sebuah keluhan besar  sang gadis yang membatin, sebuah doa penutup harinya.

Kedinginan melanda di kampung desa itu dan terlihat beberapa warga desa penjaga perkemahan malam itu mengelilingi api unggun yang sengaja dinyalakan untuk melawan dingin. Semua peserta acara untuk keesokan hari telah pulas tidur menabung energi untuk kegiatan hari esok yang mungkin akan melelahakan. Namun sebuah kejadian langkah terjadi di sunyi dan dinginnya malam itu, kicauan panjang seekor  merpati tadi terdengar mengubah suasana; yang tadinya para penjaga merasa aman-aman saja pun terheran dan ketakutan walaupun mereka tahu bahwa itu hanyalah seekor merpati karena dimana ada merpati hanyalah sebuah kabar gembira yang datang. Semua itu pun lengkap mengisi kisah akhir di malam itu dan seperti biasanya sang mentari segara datang memberi hari baru.

Pagipun tiba dan semuanya bergegas bangun, tersentak keluar dari perkemahan masing-masing untuk bersiap diri. Sang gadis pun ikut bangun, walaupun lukanya mengharuskannya untuk tetap beristirahat namun hatinya yang pilu membuatnya masuk dalam sebuah keputusan tersulit “walaupun aku tidak beraksi hari ini setidaknya aku mmelihat teman-teman drumband dan semuanya beraksi.”  Huru-hara adalah kata yang tepat melukiskan suasana di pagi itu, pengecualian untuk situasi kemah drumband yang sunyi tiada tara dan ketegangan membanjiri diri peserta drumband.

Sang gadis menyusuri bagian tengah perkemahannya dan seorang Kakak Pembina yang berpapasan dengannya tiba-tiba membuat langkah sang gadis terhenti dan ingin sekali rasanya ia menjatuhkan dirinya, “Hil, andai dirimu tidak terlalu gegabah, semua ini akan berjalan lancar dan normal,” bisik seorang kakak pembina kepadanya. Seperti belati dalam sangkurnya, tangisan relung terdalam mencabik-cabik hati sebab tak bisa ia luapkan mengingat anak pramuka tidaklah cengeng ataupun manja sekalipun itu bara pembakar luka.

Suasana mencekam itupun segera berlalu dengan terdengarnya bunyi lonceng tanda sebentar lagi acara akan dimulai sekaligus pengingat untuk semua peserta agar berkumpul di lapangan. Semuanya mengikuti aturan, SD, SMP, dan SMA hingga guru-guru dari berbagai sekolah sudah berkumpul di lapangan. Sang gadis hanya memandang semuanya dibalik tirai pintu perkemahannya. Gadis yang malang.

Sela waktu bunyi lonceng kedua pun terdengar di seluruh sudut kampung desa pengingat bahwa semua peserta segera membentuk barisan atau berkmupul sesuai kelompoknya dalam keadaan siap sedia. Sang mentari pun turut bekerja sesuai tugasnya dan terjadwal. Teriknya begitu menghangatkan kulit dan dahaga sekalipun. Gelembung-gelembung asap di setiap hembusan nafaspun menghiasi pagi itu layaknya sebuah motor yang sedang dipanaskan sebelum menghadapi perjalanannya yang jauh. Semua makhluk hidup pun sedari tadi keluar dari tempat persembunyian. Lalu dimanakah seekor merpati yang membuat gaduh bagi para penjaga semalaman? Ahh, rupanya ia sedang tidur pulas memulihkan tenaganya dan mengembalikan matanya yang memerah hingga normal karena semalaman telah begadang. Lupakan sajalah, lagian bunyi lonceng ketiga akan terdengar sebentar lagi lalu upacara dimulai. 

Sekejap suasana yang tadinya sunyi oleh karena semua peserta diingatkan dalam keadaan siap sedia pun berubah menjadi riuh melihat seekor merpati yang terbang rendah di atas reribuan kepala manusia peserta acara yang kemudian hinggap ke atas tiang bendera.
Dan sesungguhnya yang menjadikan semuanya menjadi riuh adalah kala seekor merpati sebelum hinggap di tiang bendera ia mengiringi derai langkah sang gadis menari cepat dengan anggunnya oleh dress seorang mayoret drumband layaknya seorang permasiuri dalam sebuah pesta dansa, tepatnya lagi sang gadis dengan tongkat mayoret emasnya seperti wanita pemeran utama dalam film Wonder Woman; ayu, anggun, dan kokoh-tangguh. Semua orang sontak menyorakinya, memberinya tenaga ekstra untuk lebih semangat lagi, dan peserta drumband lainnya riang gembira menyambutnya begitupun kakak-kakak pembina yang memberinya senyuman ramah dan bahagia. Dari arah lebih dekat senyum simpul sang gadis menggambarkan perjuangannya melawan kesakitan untuk mengobati kegelisahaan semua orang. “dalam momen besar ini kadang sesuatu yang besar datang menghalangi. Namun aku hanya perlu menjadi lebih besar dari halangan tersebut; mimpiku besar dan hanya mereka yang memiliki mimpi besar yang mampu melewati segala batasan. Aku akan merasakan sedikit kesakitan untuk sebentar waktu karena sebuah momen besar akan dikenang selamanya.” Langkah sang gadispun mencapai tujuannya dan kemudian lonceng ketiga pun berbunyi dan acara dimulai. Semua peserta memainkan perannya masing-masing sesuai waktunya. Begitupun sang gadis tersebut bersama lekukan indah tubuhnya meliuk-liuk cepat dan tepat mengikuti iringan drumband. Dari kejauhan Ibunya dalam dekapan Ayahnya menangis bangga melihat kehebatan sang gadis mereka.

Kadang halangan datang sebagai ujian hingga menjebak kita dalam dua pilihan; mengubur mimpi atau hanya menatapnya, ya sebuah piihan yang menyakitkan. Namun pilihan yang sebenarnya adalah; merasakan sakit untuk sebuah momen yang akan dikenang selamanya atau terdiam dalam kesakitan menatapi mimpi. Di saat kamu memilih mimpimu disitulah kamu akan mengerti bahwa halangan datang bukan untuk membatasi namun halangan datang hanya untuk menguji besar tidaknya mimpi kita.


special thanks to:  Anggi Apriliani Nasution