KISAH INSPIRATIF: SEJAK DALAM KANDUNGAN KITA TERLATIH UNTUK MENANG
@anggiaprilianin |
Jika sesuatu memungkinkan bagi kebanyakan orang maka itu juga berlaku bagimu. Tentang sebuah kesuksessan dimana masalahnya adalah bagaimana kita menempatakn diri dengan tepat pada sang waktu. Menggapainya hari ini atau di kemudian waktu yang memungkinkan.
SANG GADIS DAN MIMPI BESARNYA
Ketika
dunia menawarkanmu berbagai hal yang membuatmu rakus dan di lain sisi kamu
memahami dirimu bukanlah dewa yang berhak atas segalanya, disitulah kamu dapat
mengerti bahwa hidup adalah pilihan. Memilih beberapa di antaranya yang sesuai
keinginan hatimu, itu adalah keinginan yang kemudian kamu sebut mimpi. Kemudian
dirimu terhalang, terjebak seolah berada dalam dua pilihan. Dan kamu ingin
mengatasinya namun kamu tidak bisa, kemudian kamu belajar mencari solusi tapi sama
saja. Bukan karna kamu tidak mampu, sebenarnya kamu cukup sanggup
memecahkannya. Hanya pikiran dan perasaanmu masih dililiti dua buah pilihan.
Ya, kira-kira begitulah yang terjadi pada diri seorang gadis kesayangan Papa Mamanya
semasa ia duduk di bangku SMA di tiga tahun silam.
Bayu
senja kelabu menyapa ketinggian Wae Rebo. Sudah menjadi rahasia tersendiri
untuk sebuah kampung di atas awan. Matahari yang belum gemulai berdiri di atas
sana, sinarnya butuh perjuangan melawan kabut untuk menyapa ribuan anak sekolah
serta para guru sekecamatan Satarmese Barat hingga warga yang turut mengambil
peran dalam rangka persiapan hari Pramuka yang akan diselenggarakan di keesokan
harinya; yang sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Kabut
yang perlahan menguliti kampung desa, membubarkan aktivitas mereka yang di
dalamnya, mengubah suasana, riuh hingga sunyi. Namun tidak untuk sang gadis
yang sedari tadi duduk diam dengan tatapan sayu di ujung bangku bawah pohon
sisi tenggara lapangan tengah kampung. Desahan nafasnya merupakan lirik-lirik
lagu dengan alunan melodi dan kerutan dahinya yang kian memuncak pertanda ia
sedang dalam sebuah harapan rumit, dan dari kesemuanya itu layaknya jelas nyanyian
sebuah lagu melo.
Dari kejauhan di tengah pepohonan rindang yang meliputi
lapangan itu seekor Merpati menaruh tatap tetap ke arah sang gadis, kicauan
demi kicauan merdunya seolah hanya dia yang mempedulikan kesedihan mendera sang
gadis. Ah... mungkin hanya seekor burung nakal yang terpesona oleh paras cantik
sang gadis, yang anggunnya semakin terlukiskan oleh tambah merdu kicauan kala
sepoi angin menjuntai hitam rambutnya tanpa hambatan. Sepersekian detik kicauan
burung itu berhenti dan gerak-geriknya yang kian resah dari satu ke ranting lainnya
lalu mukanya secepat kilat berubah layaknya angry bird. Rupanya dikarenakan
seorang pria seusia gadis itu datang menghampiri si gadis.
“kenapa
kamu memberi noda dalam keindahan yang sempurna ini? Kenapa harus merasa berat
hati sebelum tampil besok, Hil? Bukankah ini mimpi kita semua; diundang tampil
mementaskan drum band di hari pramuka di kampung puncak surga ini? Berilah
senyumanmu pada Pulau Mules depan sana, ia pasti akan membalasnya,” hibur pria
dengan paras tanpa noda yang baru saja menghampiri sang gadis. Dan segera sang
gadis mendiplomasi seisi relung hatinya, “kenapa harus ada hujan sebelum kita
menikmati pelangi? Dapatkah kamu memberiku alasan yang kuat untuk mengubur
mimpi besarku ini? Lihatlah, Roy, lukanya begitu dalam sehingga menjadi penghambat
setiap langkah kakiku.” Rupanya mimik wajah pria bernama Roy yang tiba-tiba terhempas
dan menjadi buram itu dapat mengerti kesedihan serta kegelisahan yang melanda
sang gadis. Didaptkannya mulus kaki sang gadis dalam genggamannya dan
mengartikan luka yang dilihatnya, “ya. Sebaiknya kamu harus mengubur mimpimu
kali ini. Luka di kakimu mengharuskan kamu untuk beristirahat dulu. Siapa yang
menabur obatnya?” Seperti pelangi sehabis hujan namun ayu wajah sang gadis
menjadikan pelangi selagi hujan, derai air matanya terjun bebas membasahi
lonjong pipi imutnya menimbulkan empati tinggi dari Roy dan sedikit membuatnya
panik, “hei. Hil. Jangan nangis. Lukanya tak dapat membohongi semuanya dan yang
pastinya Kakak Pembina menyarankanmu untuk tidak tampil besok kan?” dengan
canggung sang gadis mengangguk-anggukan kepalanya sembari uluran tangan Roy
dengan sapu tangan oleh jemarinya mengusap air mata kesedihan sang gadis.
Hari
itupun berlalu dilandai kesedihan, dan seekor merpati dari kejauhan rindangnya
pepohohan di satu sudut lapangan disana pun turut merasakannya, kembali menuju
sangkarnya dalam diam, menutup harinya tanpa kicauan tak seperti sedia kala.
Jika
sesuatu yang begitu berarti terlewatkan, hari terasa begitu cepat berlalu dan
di lain sisi sebuah harapan terdalam sang gadis ingin memperlambatnya sembari
menunggu kesembuhan kakinya. Dan saat sesuatu yang begitu berat untuk dilewati
ingin rasanya mempercepat laju sang waktu. “aku hanya tidak terlalu tepat
menaruh diri pada sang waktu, kejadian yang memberi luka di kakiku sebenarnya
hanya diriku yang kurang beruntung berjalan melewati jalan bebatuan tadi siang.
Mungkin besok bukanlah hariku dan hari ini menjadi pengubur mimpiku. Inilah
kesempatan pertama dan paling penting mengingat besok Mama dan Papa datang melihatku
menjalani tugasku sebagai seorang mayoret. Dan bagaimana jadinya pentas
drumband tanpa seorang mayoret? Tuhan...?” Sebuah keluhan besar sang gadis yang membatin, sebuah doa penutup
harinya.
Kedinginan
melanda di kampung desa itu dan terlihat beberapa warga desa penjaga perkemahan
malam itu mengelilingi api unggun yang sengaja dinyalakan untuk melawan dingin.
Semua peserta acara untuk keesokan hari telah pulas tidur menabung energi untuk
kegiatan hari esok yang mungkin akan melelahakan. Namun sebuah kejadian langkah
terjadi di sunyi dan dinginnya malam itu, kicauan panjang seekor merpati tadi terdengar mengubah suasana; yang
tadinya para penjaga merasa aman-aman saja pun terheran dan ketakutan walaupun
mereka tahu bahwa itu hanyalah seekor merpati karena dimana ada merpati
hanyalah sebuah kabar gembira yang datang. Semua itu pun lengkap mengisi kisah
akhir di malam itu dan seperti biasanya sang mentari segara datang memberi hari
baru.
Pagipun
tiba dan semuanya bergegas bangun, tersentak keluar dari perkemahan
masing-masing untuk bersiap diri. Sang gadis pun ikut bangun, walaupun lukanya
mengharuskannya untuk tetap beristirahat namun hatinya yang pilu membuatnya masuk
dalam sebuah keputusan tersulit “walaupun aku tidak beraksi hari ini setidaknya
aku mmelihat teman-teman drumband dan semuanya beraksi.” Huru-hara adalah kata yang tepat melukiskan
suasana di pagi itu, pengecualian untuk situasi kemah drumband yang sunyi tiada
tara dan ketegangan membanjiri diri peserta drumband.
Sang
gadis menyusuri bagian tengah perkemahannya dan seorang Kakak Pembina yang
berpapasan dengannya tiba-tiba membuat langkah sang gadis terhenti dan ingin
sekali rasanya ia menjatuhkan dirinya, “Hil, andai dirimu tidak terlalu
gegabah, semua ini akan berjalan lancar dan normal,” bisik seorang kakak
pembina kepadanya. Seperti belati dalam sangkurnya, tangisan relung terdalam
mencabik-cabik hati sebab tak bisa ia luapkan mengingat anak pramuka tidaklah
cengeng ataupun manja sekalipun itu bara pembakar luka.
Suasana
mencekam itupun segera berlalu dengan terdengarnya bunyi lonceng tanda sebentar
lagi acara akan dimulai sekaligus pengingat untuk semua peserta agar berkumpul
di lapangan. Semuanya mengikuti aturan, SD, SMP, dan SMA hingga guru-guru dari
berbagai sekolah sudah berkumpul di lapangan. Sang gadis hanya memandang
semuanya dibalik tirai pintu perkemahannya. Gadis yang malang.
Sela
waktu bunyi lonceng kedua pun terdengar di seluruh sudut kampung desa pengingat
bahwa semua peserta segera membentuk barisan atau berkmupul sesuai kelompoknya
dalam keadaan siap sedia. Sang mentari pun turut bekerja sesuai tugasnya dan terjadwal.
Teriknya begitu menghangatkan kulit dan dahaga sekalipun. Gelembung-gelembung
asap di setiap hembusan nafaspun menghiasi pagi itu layaknya sebuah motor yang
sedang dipanaskan sebelum menghadapi perjalanannya yang jauh. Semua makhluk
hidup pun sedari tadi keluar dari tempat persembunyian. Lalu dimanakah seekor
merpati yang membuat gaduh bagi para penjaga semalaman? Ahh, rupanya ia sedang tidur
pulas memulihkan tenaganya dan mengembalikan matanya yang memerah hingga normal
karena semalaman telah begadang. Lupakan sajalah, lagian bunyi lonceng ketiga
akan terdengar sebentar lagi lalu upacara dimulai.
Sekejap suasana yang tadinya
sunyi oleh karena semua peserta diingatkan dalam keadaan siap sedia pun berubah
menjadi riuh melihat seekor merpati yang terbang rendah di atas reribuan kepala
manusia peserta acara yang kemudian hinggap ke atas tiang bendera.
Dan
sesungguhnya yang menjadikan semuanya menjadi riuh adalah kala seekor merpati
sebelum hinggap di tiang bendera ia mengiringi derai langkah sang gadis menari
cepat dengan anggunnya oleh dress seorang mayoret drumband layaknya seorang
permasiuri dalam sebuah pesta dansa, tepatnya lagi sang gadis dengan tongkat
mayoret emasnya seperti wanita pemeran utama dalam film Wonder Woman; ayu,
anggun, dan kokoh-tangguh. Semua orang sontak menyorakinya, memberinya tenaga
ekstra untuk lebih semangat lagi, dan peserta drumband lainnya riang gembira
menyambutnya begitupun kakak-kakak pembina yang memberinya senyuman ramah dan
bahagia. Dari arah lebih dekat senyum simpul sang gadis menggambarkan perjuangannya
melawan kesakitan untuk mengobati kegelisahaan semua orang. “dalam momen besar
ini kadang sesuatu yang besar datang menghalangi. Namun aku hanya perlu menjadi
lebih besar dari halangan tersebut; mimpiku besar dan hanya mereka yang
memiliki mimpi besar yang mampu melewati segala batasan. Aku akan merasakan
sedikit kesakitan untuk sebentar waktu karena sebuah momen besar akan dikenang
selamanya.” Langkah sang gadispun mencapai tujuannya dan kemudian lonceng
ketiga pun berbunyi dan acara dimulai. Semua peserta memainkan perannya
masing-masing sesuai waktunya. Begitupun sang gadis tersebut bersama lekukan
indah tubuhnya meliuk-liuk cepat dan tepat mengikuti iringan drumband. Dari
kejauhan Ibunya dalam dekapan Ayahnya menangis bangga melihat kehebatan sang
gadis mereka.
Kadang
halangan datang sebagai ujian hingga menjebak kita dalam dua pilihan; mengubur
mimpi atau hanya menatapnya, ya sebuah piihan yang menyakitkan. Namun pilihan
yang sebenarnya adalah; merasakan sakit untuk sebuah momen yang akan dikenang
selamanya atau terdiam dalam kesakitan menatapi mimpi. Di saat kamu memilih
mimpimu disitulah kamu akan mengerti bahwa halangan datang bukan untuk
membatasi namun halangan datang hanya untuk menguji besar tidaknya mimpi kita.
special thanks to: Anggi Apriliani Nasution
special thanks to: Anggi Apriliani Nasution