Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

BALADA PILU

cerpen sedih menyayat hati tentang kehilangan seorang ibu

balada pilu
Mengapa hidup dengan kejam membiarkan aku menjumpai perpisahan yang paling kutakutkan saat ini?














Sang fajar merangkak dari tempat peraduan yang membiaskan kehangatan di setiap cahayanya. Aku terbangun dari tidurku lalu berdoa dan mensyukuri hari baru ini. Setelah mandi aku diminta mama untuk memasak bubur ayam kesukaannya. Sejenak aku bahagia karena aku berpikir bahwa mama telah melupakan pertengkaranku dengannya sore kemarin. Dari wajahnya tak tergambar sedikitpun marah atau kecewa. Aku lalu memberanikan diriku untuk meminta maaf  padanya. Ia tersenyum lalu mengecup keningku. Legah dan bahagia menyelimutiku.

“inilah hari terakhir kau memanggilku mama....” katanya sambil menghabiskan sisa bubur ayam yang kuhidangkan.

Aku terperanjat dalam keheningan. Kecewa, marah, sakit hati dan takut. Dalam kehancuran aku melangkah menuju sekolah. Sejenak semuanya berubah. Ada kekalutan menyeringai di hatiku yang memaksaku untuk menangis.

Adakah aku tak bisa dimaafkan lagi hanya karena pikiranku yang membatu yang membuatku menentang ingin mama untuk melanjutkan kuliah di Jakarta? Tak banyak yang ku tahu di luar sana, tak banyak bekalku untuk perjalanan yang jauh. Sedang kata mereka kota itu kejam. Kekuatan apa yang ada padaku? Aku mencintai tanah asalku ini. Mengapa harus pergi jauh jika di sini masih ada tempat buatku? Flores menyajikan banyak hal indah untukku, semua yang tak mungkin bisa hilang dari jiwaku. Mama dan Opa adalah salah satunya. Aku tak ingin jauh.

Lalu tentang mimpi dan harapan mereka atasku, sebenarnya tak ada yang salah. Aku membenarkan alasan mereka yang ingin menjadikan aku besar di tempat yang lebih besar dengan menjala tak hanya ilmu dan keterampilan tetapi juga cerita tentang perjalanan yang panjang, jauh dan berbeda untuk kubawa pulang sebagai kebanggan yang mungkin bisa kuteruskan untuk membangun tanah Floresku. Betapa inilah cita-cita besar mereka dan aku,.. ah kekhawatiranku atas keadaan merekalah yang membuatku urung. Aku hanya ingin di sini bersama mereka. Menemani dan menjaga mereka.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, batinku terus bergejolak. Ingin rasanya aku meneriakan rasa sakit ini pada langit yang memayungi pijak demi pijakku. Mengapa mama tak melihat kekhawatiranku atas dirinya dan Opa?

Aku masih membatin. Apalagi sampai saat ini aku masih belum tahu bagaimana hasil pemeriksaan darah mama kemarin di rumah sakit. Yah, seperti biasanya, aku selalu dianggap anak kecil yang tak boleh tahu dan mengerti maasalah-masalah orang tua termasuk sakit yang mereka derita. Kekecewaanku semakin bertambah mengingat hal itu.

Setibanya di sekolah, aku berusaha membuang jauh masalahku dan fokus pada ujian praktek olah raga sebagai salah satu mata pelajaran Ujian Akhir Sekolah. Bagaimanapun, sebentar lagi aku akan menghadapi kelulusan SMA. Ingin kusongsong prestasi yang baik di hari itu, untuk itulah aku harus tetap bersemangat.

Pukul 09.00 WIT, kepala sekolah memanggilku. “pentas Hari Guru”, pikirku. Aku bertugas menampilakan monolog di hari itu. 

“kamu harus sabar dan kuat.” Kepala sekolah mengingatkanku. Jantungku berdegup begitu kencang, seluruh tubuhku bergetar. Apa yang terjadi? Tanyaku tanpa suara waktu aku dihantar pulang ke rumah dan semua guru juga teman-temanku menatap aku penuh iba. Deru nafasku seperti menggerutu, angin berhembus bagai  balada pilu, bahkan nyaris tak ada kicauan burung yang menghibur aku.

Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar nyanyian duka dan ratapan. Aku semakin tak karuan. Banyak orang berkumpul di halaman rumahku dan benar saja ketakutanku menjadi nyata.

Tangisku pecah waktu kudapati mama tak bernyawa di atas pembaringan. Kenyataan ini terlalu pahit bagiku. Mengapa hidup dengan kejam membiarkan aku menjumpai perpisahan yang paling kutakutkan saat ini?

Mama...
Tak ada kata lagi selain raunganku yang menggiring air mata dan pelukanku untuk mama. “inilah hari terakhir kau memanggilku mama” kalimat itu bak salam pisah paling keji yang  menari-nari di atas piluku. Sementara wajah mama membeku bersama senyumnya.






TENTANG PENULIS:

CINTA YANG TAK HARUS MEMILIKI

kadang kita harus mencintainya tanpa harus memilikinya.

Dan

 “kamu akan selalu hidup di relung hatiku.

Dengan atau tanpamu.”



Aku ada di antara pucuk rembulan dan berakhir pada bangkitnya sang mentari. Bukan untuk sesuatu yang penting bagi kebanyakan orang untuk dilewati. Pula bukan untuk diisi dengan sesuatu yang tidak penting. Hanya untuk berkelana. Di antara pucuk rembulan dan mentari yang bangkit, aku mengambang.  

Aku selalu menyukai mentari pagi. Sinarnya menerpa dan menembus ke segala celah, menggugah eratan embun pada rimbunnya dedaunan pohon. Dan kemudian bagian terfavoritku datang. Sang mentari merebus embun-embun itu lalu mengumpulkannya menjadi segumpal tetesan dan dijatuhkannya pada selembar daun talas tepat di bawah dedaunan pohon, daun talas itupun kembali bangkit.

Waktu berlalu dan aku mulai menaruh benci pada mentari pagi, itu mengingatkanku akan semua momen dan memori indah, yang telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.

Sekarang, setiap kali kupandang sang mentari akulah satu-satunya yang mengkomplein tentang orang-orang terdekat pergi dari kehidupan kita.

Si daun talas turut merasakan yang kuderita tapi sang mentari terus memantauiku. 

Aku sadar begitu banyak orang yang mengalaminya tapi kita, manusia tidak akan memahaminya sampai itu menimpa kita.

Selama berhari-hari aku terus memperhatikan daun talas, tidak terlalu paham akan apa yang turut dirasakannya. Kemudian aku sadar bahwa mentari telah memiliki sisi lain, wajah lain dimana aku mendengar banyak hal tapi aku belum pernah melihatnya sampai sekarang. Sebuah wajah penuh kegelisahan dan depresi dan setiap aku memandangnya berubah menjadi lebih panas dan sangat panas.

Yang awalnya datang, kemudian berbagai kisah terlewati, pemberi arti hingga menjadi penyemangat hidup bahkan pemacu jantung untuk terus berdetak. Saat mereka yang kita cintai menjauh dari kehidupan, seperti luka yang membekas. Saat pertemuan berujung perpisahan namun masih meninggalkan begitu banyak janji menimbulkan segudang tanya “mengapa Engkau meninggalkan sekeping hati ini, yang mudah jatuh dan patah?”.

Semuanya berubah menyamar sebagai pencabut nyawa, nafas yang selalu tertahan akan sakitnya ditinggalkan, mata yang selalu tak tahu arah kemana harus menaruh tatapan hingga bayang-bayang mereka terlampir di dinding-dinding kokoh yang hampa. 

"Iya, aku tahu bahwa cinta itu ibarat merpati yang putih mulus dengan sayapnya yang kokoh bisa memeluknya kapan saja yang walaupun terkadang di balik sayap itu terselip duri yang bisa melukai kapan saja."

Sela waktu, pada hati yang masih membisu, berkutat mencari jawaban tentang semua ini, sang rembulan datang menyapa. Seolah meneriakiku yang lagi duduk dalam kegelapan, aku pun menoleh padanya dengan kerutan dahi penuh pilu. Tapi sesumbar senyumannya penuh rasa belas kasihan dan bergumam, entah tahu persis apa yang dikatakannya tapi dibelakangnya bintang-bintang membuntutinya dan menari di sekelilingnya. Setiap bintang memiliki ceritanya masing-masing untuk diceritakan. Kemudian sang rembulan mengumpulkan semua cerita itu dan diceritakannya kembali kepadaku.

“Kami mengingatkanmu bahwa dunia penuh keindahan. Laut dan samudera yang luas, gunung menjulang tinggi dan begitu banyak lainnya hingga langit disekelilingnya tempat kami menyapa makhluk-makhluk dalam kegelapan yang membutuhkan terang. Kau tahu, dunia ya tetap dunia. Ada masalah di dalamnya," sang rembulan bergumam beriringan dengan bintang-bintang yang muncul hilang satu persatu. Setiap bintang benderang, sang rembulan mendekatinya, kemudiaan ia melanjutkan cerita yang berbeda.

“lelaki seperti apa yang tidak mampu memperbaiki masalah dunia?”

“di belahan dunia lain dari duniamu ada seseorang disana yang bangkit dari kematian lalu mengubah dunia. Kami tahu, bagaimana kau bisa mempercayainya? Dia seorang ahli pedang yang mati dalam kepiluannya terhadap dunia yang begitu kejam dan kemudian bangkit berdiri layaknya seorang ksatria. Kau pasti tahu banyak tentang ksatria di belahan duniamu, mereka yang membela kaum lemah dan kadang menyingkirkan yang benar demi kenyamanan orang banyak agar hidup saling berdampingan dalam kedamaian. Balian, ya Balian namanya. Dialah yang menyerahkan Yerusalem (kota yang dicintai dan diagung-agungkan semua orang Kristiani, Yahudi, dan Muslim) kepada Saladin demi nyawa-nyawa tersisa dari perang. Merelakan yang dicintai untuk menggali kehidupan lain dari hidup yang tersisa.”

Sedikit mulai terharu oleh cerita sang rembulan, sedikit risih, kisah cinta dibandingkan dengan sebuah perang.

“Sebenarnya, rembulan, hei? Baik Balian maupun Saladin, merekalah yang menciptakan perang. Menciptakannya demi Tuhan. Sedangkan Tuhan tidak menginginkannya. Dan masalahku, bukanlah aku yang memulai perang antara dua hati, hanyalah dia yang memberi perang dalam diriku”, kali ini aku berani mejawabnya dengan nada dengki.

Satu bintang lainnya muncul dan bercahaya kilat. 
Dan lagi sang rembulanpun menceritakan kembali padaku, “Kisah lain dari seorang balian adalah dia tidak membunuh budaknya, melainkan memberikannya kebebasan dan seekor kuda untuk ditunggangi oleh budaknya. Tahukah kau apa yang terjadi di kemudian waktu? Si budak itu menjelma sebagai pemimpin pasukan perang Saladin, dia membiarkan Balian hidup saat Balian dan pasukkannya sudah tak berdaya atas serangan pasukan yang dipimpin oleh budak itu. Itu adalah hasil dari kebaikan  hati seorang Balian, seorang ksatria. Dan kau? Kau akan menuai apa yang kau tabur.”

Aku hanya bisa tertunduk lesu, ingatanku menceramahku. Tentang semua pertengkaran, semua umpan bagi derai air matanya. Rasanya seperti di dalam lingkaran angin puting, terasa diriku berada dalam semua yang terjadi selama lima tahun saat bersamanya. Kurasakan cinta saat melihatnya pertama kali. Mendengar alasan kenapa hatinya luluh oleh tatapanku, membayangkan saat kumembisikannya sebuah kalimat “kamu terlalu cantik buat aku, sayang” hingga dia tersipu malu. 

Air terjun menghiasi pipiku. Setidaknya mengingatkanku pada semua perjuangannya yang merupakan timbal balik dari sifatku yang selalu mengabaikannya. Saat dia berjalan kaki sejauh 10 kilometer hanya untuk menemuiku. Saat dia mengabaikan lapar demi mengefisien waktu hanya untuk bisa berduaan denganku.

Wahai kekasih:
“Tidakkah kamu tahu bahwa sebagian kita seperti tinta dan sebagian lagi seperti kertas. Dan jika bukan karena hitamnya sebagian kita, sebagian kita akan bisu. Dan jika bukan karena putihnya sebagian kita, sebagian kita akan buta? Dikau begitu cepat tergoda, serahkan dirimu padanya. Hei, setidaknya kamu telah menjadi pelatih yang tepat untuk hati ini, yang tiap kali kamu menggoresnya dia memang terluka kemudian berusaha untuk menahan perih perlahan belajar untuk sembuh.”

“sayang? Ingatkah kamu akan perjuangan kita? Kita menebar tegar pada setiap rintangan, melewatinya walau menginjak duri, dan saat semua orang bertaruh bahwa kita tak akan berhasil dan mereka berusaha memisahkan kita. Namun kita masih tetap bertahan.
Sekarang entah apa alasannya ku tak tahu persis, hingga kamu meninggalkanku.”

Aku meratapi semua kenangan itu, dan terhenti saat bayang-bayang wajahnya yang ceria di kala dia pergi jauh lalu menghapuskanku dari ingatannya. 

Cintanya memang membuatku gila, seperti orang-orang di kota metropolitan ini, yang kadang hidup berdampingan di balik demokrasi. Pun dia begitu, bermadu cinta saat dekat dan berpaling dariku saat dia di kejauhan sana. Memvonisku akan hal-hal yang tidak pernah kulakukan.      

Dikau kekasih pujaan hatiku:
Aku memberi tanya pada setiap rangkaian kesalmu, tentang aku yang selalu kamu vonis berubah. Bukannya aku selalu mengelak. Justru itu selalu tertimbun dalam ruang pikiranku yang kemudian untuk didiplomasi pada sang hati.

Ya, pikiran barangkali ego. Dan hati adalah gambaran untuk hasrat. Tapi cinta adalah berbicara hati. Cinta yang memaksa hati ini untuk menuntunku agar tidak tumbuh dalam ego.

Bahkan aku tidak mau membahas tentang kebusukan hatimu. Kadang hati ini bergejolak ingin memberitahumu bahwa setiap dikau memfonisku, itu sama dengan kamu menuntutku agar segera berubah. Dan ya! Aku memang sudah berubah kini, bukanlah seperti yang dulu dimana aku meratapi dirimu disana yang pergi karena bersamanya, bermimpi buruk tentangmu, menakut-nakuti diriku dengan berimajinasi akan segala sesuatu yang buruk yang mungkin sudah dan akan kalian berdua lakukan disana.

Aku juga tidak memilih untuk meratapi diriku disini karena itu akan menabur luka lama untuk terlahir kembali menjadi luka-luka baru. Aku lebih memilih untuk mengaksarakan rasa. Yang walaupun terkesan lebih buruk dengan mememorize kembali kisah semua tentang kita, setidaknya saat-saat tertentu linangan air mata ini jatuh di atas lembaran-lembaran putih  yang kemudian perlahan berubah dari kata demi kata hingga menjadi sebuah tulisan tentang kita. Aah.. bukan untuk dikenang tapi sebagai pengingat dari segala luka yang kamu beri.”
     
"Tuhan telah menciptakan kita semua. Kita semua pasti pernah menderita. Aku juga pernah kehilangan. Setiap yang kau sebut keindahan untuk sebuah bintang yang jatuh itu adalah kehilanganku. Dan kehilanganku itu hanya secuil penderitaanku. Kau akan segera tahu apa penderitaan terberatku.
Kadang apa yang menjadi penderitaan kita adalah keberuntungan bagi orang lain. Maka cobalah merasa beruntung atas kehilanganmu. Mulailah belajar untuk merelakannya”, sang rembulan kembali memberiku pencerahan.

Semuanya memang telah berubah tapi setidaknya kini ada mereka; sang rembulan dan beribu bintang, yang selalu menemaniku  hingga terlelap di sepanjang hari-hariku dan mulai memburu sang malam.  Mereka bercerita begitu banyak di sepanjang malam, membiarkanku menikmatinya untuk menghilangkan segala kerutan pilu, membantuku untuk berhenti membongkah tanya tapi mulai mencari arti mencari jawaban atas semuanya. Hingga pada akhirnya aku mulai memutuskan untuk bergegas mendatangi mereka. Bukan untuk meminta atau mendengarkan cerita-cerita mereka. Aku akan mendatangi mereka untuk menceritakan kembali kepada mereka apa kata hatiku.

Di hari-hari selanjutnya selalu  tak sabaran menantikan malam. Hingga tiba waktunya, aku melangkah keluar menuju kegelapan, di tempat seperti biasanya aku dan mereka bercerita.

Sembari menunggu mereka datang menyapaku, perlahan kumelatih lidahku, terbata-bata berkata,“angin? Walau aku sendiri, bukan berarti aku kesepian. Kesepian yang kau rasuki seakan tak mempan lagi bagiku,” berdusta pada semilir angin malam.

Tengah malampun berlalu, diluar dugaan, yang tak diharapkan datang. Rerintik hujan berdetak membangkitkan bulu kerinduan, menciptakan alunan, alunan kesunyian,

“suasana ini akan lebih indah, jika disaat ini ada kamu di sampingku,”

hingga aku mendekap pada dinginnya tubuhku oleh hujan yang terjun bebas tak ada hentinya dan akhirnya aku pun sadar “musim telah berganti.”

Hanya malam-malam kelam, aku tahu penderitaan sang rembulan yang sesungguhnya. Dikala dia tidak bisa menyapa mereka yang membutuhkan terangnya.

Dikala kita tidak bisa berbalik menabur kasih pada mereka yang membutuhkan kita tapi kita menaruh harapan pada orang yang telah berpaling dari kita agar kembali berbalik ke dalam pelukan kita.

“Tapi bagaimana mungkin aku mengubur semua tentangmu, tentang kita, lalu menuju ke hati yang lain sedangkan kamu masih hidup dalam relung hatiku? Aku tahu kamu telah pergi dan takkan kembali. Sayang? di saat kita selalu sibuk untuk gagal membangun cinta kita; brantam, dan saling berdebat mempertahankan ego masing-masing, di saat-saat itu aku sudah berusaha mencari penggantimu. Dan ya! Aku menemukannya. Aku menemukan kamu kembali  di dalam hatiku. Aku yang jatuh cinta berulang-ulang padamu.”

Jikalau rembulan datang lagi bersama bintang-bintangnya, aku cukup melambaikan tanganku dan aku akan bilang “Wahai langit. Aku  menatapnya dari kejauhan dan aku tak tahu dia dimana disana, tapi aku sadar bahwa aku tak harus mencarinya kemana karena satu yang kuyakini bahwa dimanapun dia kini dia selalu ada dihatiku.”
Cinta datang menghampiri kita hanya sekali dan akan abadi untuk selamanya. Seperti halnya seorang ksatria; membela kaum lemah dan kadang menyingkirkan yang benar untuk kedamaian orang banyak, Cinta; kadang kita harus melepaskannya demi kebaikan kedua belah pihak bahkan demi kebaikan semua orang, kadang kita harus mencintainya tanpa harus memilikinya. Dan “kamu akan selalu hidup di relung hatiku. Dengan atau tanpamu.”


Inspirasi cerita:
Film “Kingdom of Heaven”
Blog: “emptyhearts. tk”
Novel “Sayap-sayap patah” by Khalil Gibran
Buku “The Secret” by Rhonda Byrne
Blog: “otwsangir. com”  
Lagu: “Biarkan ku  sendiri” by Noah
Lagu: “You’re still the one” by Shania Twain

ANGANKU BUKAN ANGANMU

Banyak harapan akan sesuatu yang lebih dan mungkin untuk hal-hal yang belum kita raih pada saat kita berdiri di suatu titik menuju ke arah tujuan. Sebuah titik yang lahir dari proses panjang tercipta untuk mencari arti, Hidup! 

Semua waktu berlalu, indah maupun buruk, itu bukan masalah. Hiruk pikuk, hingar bingar, semuanya sedang terjadi sekarang dalam dunia yang terus berputar.


Aku, dunia, dan angan.

Letih sudah terasa akan angan yang kusebut mimpi, samar, saat itulah mentari pagi terabaikan dan dia membiarkanku terlelap, merasakan bumi berhenti. 


(Hidup adalah problematika, estetika tercampak oleh hati yang dirasuk racun modernisasi; egoisme dan keserakahan. Dan terlelap adalah momen damai terindah dimana berupa-rupa angan tercipta dan tercapai. Ya! Bumi harus terus tetap berhenti. Ya, harus! Ya, akan kuteriakan matahari harus ber...hen.....)


Titisan amarah sang surya menerobos dinding,  menyengat kulit, menerpa dahaga, .....panas, .....keringat. Bangun, bangun....!

Duniapun terasa berputar lagi....
Aku melangkah-menyebrangi pintu seperti badai di kepala dan sayup mataku mencoba berpaling dari teriknya dengan secuil senyuman sembari menarik napas dalam-dalam berbisik : Hallo, selamat berhari Minggu Matahari.

Sunyi dalam kesendirian; di saat semua orang bepergian menikmati liburan namun aku masih betah berkencan dengan laptop, per sekian detik terbahak tersipu menutup pilunya diriku akan angan.
Menyendiri; jalan pintas menuju intropeksi diri yang tepat oleh karena bisikan-bisikan mereka dikategorikan setan bagi sang nurani....


.............perlahan bangkit merasa diri tangguh tetap pada angan yang mereka tertawakan. Lagipula bukanlah angan mereka, bukan pula anganmu tetapi anganku!

Lagi, melangkah keluar menebar tegar pada ombak yang meliuk merayu kepalaku, dengan tegak menatap matahari perlahan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan penuh gairah, dan akupun merasa lebih tinggi darinya. 

Namun semua itu adalah sisi baiknya saja. Karena matahari begitu lama mengitari bumi maka banyak halpun yang jauh lebih berani dari keberanian sang nurani dalam mengisi ruang kepalaku. Aku sebut itu adalah duniawi, banyak hal yang terjadi mengguncang zona kenyamanan, entah apa alasannya yang pasti hidup penuh misteri.

Ada saat dimana aku merasakannya, penyakit di kepalaku, aku tahu dan sadar akan itu tapi lima tahun berlalu hidupku masih seperti ini; setiap hari terasa sama selama lima tahun, aku bahkan tidak tahu harus bagaimana; mencari jalan keluar ataukah membiarkannya saja terus menari dalam hidupku?

Aku merasa hidupku adalah mimpi dan mimpiku hidup dalam kehidupanku namun tidak pernah menjadi nyata; aku hidup dalam mimpi dan hidupku menjadi beban di kehidupan selanjutnya, dengan mimpiku dalam kehidupan selanjutnya itu aku bisa mengubur hidupku di hari kemarin.
(Hidup itu berkesinambungan, esok hari adalah apa yang kita lakuakan di hari ini dan esok hari tidak akan berjalan mulus jika apa yang menjadi hari ini tidak kita lewati dengan benar) 


"Aku menginginkan hari esok tanpa melewati hari ini." 

Sesuatu yang begitu rumit bahkan kata-kata tidak dapat mendeskripsikannya dengan tepat, namun yang pasti aku adalah mimpiku.


Di enam tahun silam:
Manusia paling puitis hingga rumah berdinding puisi,  manusia yang dipenuhi keindahan akan optimisme tinggi, buku? layaknya ayunda yang menari-nari menarik hati, hidup penuh inspirasi akan cinta, dan aturan adalah cinta sejati yang tak bisa tergantikan.
Itulah aku. "Aku, James Kartz, sang pujangga yang haus akan bintang." Sejumlah prestasi begitu mudah untuk dipetik, giat dan fokus pada apa yang diinginkan adalah kunci utamanya, tapi hidup harus pada pola yang sehat untuk menghindari stress atau hal-hal yang menghambat suksesnya sebuah keinginan.
Kekuranganku adalah disetiap kata yang terucap dari mulut sang Ayah, benar salahnya kembali ke aturan "Hormatilah orang tuamu", cuma satu hal yang sering menjadi perdebatan yaitu Aku di antara keinginan ayahku dan cita-citaku.


Di hari ini tak lekas ingatanku akan enam tahun silam dimana keinginan ayahku adalah hidupku saat ini hanya karena sebuah aturan tertanam dan tumbuh menjadi kuat. Ingin rasanya kembali, mencabut aturan itu sebelum aku mulai menjalani hidup atas dasar keinginan ayah karena yang kuderita ini sungguh membingungkan, namun semuanya telah terjadi. "Ayah, anganmu bukan anganku."


(Penyesalan bukanlah sesuatu yang baik dan segera harus dihilangkan, apa yang sedang terjadi bukanlah sesuatu yang perlu ditanyakan tetapi jadikan itu sebagai acuan untuk mencari solusi.)

Itu adalah intropeksi yang lumayan bagus, namun matahari telah pergi dan sang rembulan segera melayang tegak di atasku dan akupun beranjak terbang.
Segeraku menutupi hari dengan doa untuk harapan hari esok yang cera; sebuah tradisi anak rantauan tersadar akan segala kekurangan, "Tuhan? Aku tak mampu berjalan sendiri."

(Senja berirama; aku di suatu tempat di antara seluruh keindahan dunia, lantunan melodi berlirikan bait-bait puisi yang terpampang seperti berdinding kaca, inilah dambaanku, sejenak pejamkan mata, sekejap pula sesuatu muncul dari kejauhan; seperti gumpalan bintang yang kian dekat kian terbentuk, "oh sang dewi". "James Kartz, bangunlah, bangunlah. Hidup yang kamu jalani adalah mimpi ayahmu, juga semua yang kamu abaikan, namun itulah yang menjadi mimpimu sekarang untuk kamu jalani menjadi hidupmu yang seharusnya. Dan berusahalah menyatukan dua pribadi dalam dirimu", serunya.)
Dan seketika semuanya berubah menjadi pudar, dinding kaca yang tadinya dihiasi bait-bait puisi lenyap menjadi dinding tembok kamarku, akupun terbangun sambil monoleh ke arah jam dinding dalam kebingungan penuh tanya, jam lima pagi.

"Dua pribadi dalam diriku"
"Apa yang terjadi sebenarnya? Nyatanya aku adalah seorang diri, satu tubuh satu pribadi. Apa yang harus aku lakukan? Hidup dalam mimpi; menjalani mimpi dalam kehidupanku ataukah hidupi kehidupanku?"

Di antara dua pilihan, yang pasti harus memilih salah satu di antara dua.






                                                B  e  r  s  a  m  b  u  n  g. . . .
                                              see you on the next episod



Soundtrack: What's Up. PINK
















BLOGGER; MENGUBAH NASIB DENGAN MENYAPA DUNIA

Episode 2: Frustasi




Mencari emas di balik bukit adalah kata yang tepat untuk seseorang yang ingin menghasilkan sebuah karya novel. Menulis memang sesuatu pekerjaan yang santai; tepatnya membuat huruf atau angka dengan pena, lain halnya dengan mencari emas; berusaha mendapatkan emas di suatu tempat yang kita tidak tahu dimana keberadaannya. 

Namun menulis yang baik adalah imajinasi yang berpetualangan, menulis apa yang kita rasakan lalu merasakan apa yang sedang kita tulis serta melahirkan rasa dalam sebuah kata. Menulis sebuah novel adalah suatu karangan hasil dari imajinasi atas apa yang terjadi di sekitar dengan mengiramakan kata, melahirkan tokoh khayalan dengan menonjolkan watak dan perilaku. 

Tentunya butuh sesuatu yang ekstra untuk melahirkan sebuah novel apalagi sebuah novel yang bertemakan cinta; wawasan yang luas, pengalaman dan hasil pengamatan yang benar-benar terjadi atau bisa juga dengan imajinasi yang tinggi untuk melahirkan sebuah kisah.

Ketika semua itu tersanggupi dan berjalan dengan lancar maka lahirlah sebuah novel yang baik yang tentunya bisa memikat perasaan pembaca.


Namun setelah semuanya berhasil dan tinggallah sebuah karya sastra itu dipublikasikan, tiba-tiba sesuatu menghalangi lalu lenyap entah kenapa dan mengapa. Apa yang pantas untuk bisa dibangga-banggakan?

Setelah androidku lenyap terbawa perampas rasanya bagaikan puing-puing sampah mengambang di atas permukaan air laut, sunyi senyap nya hidup terasa, bukan karena androidnya tapi karena imajinasiku-karena otakku di rampas orang lain. Naifku di kompleks Cijantung bersunyi-sunyi di salah satu sudut persegi empatnya kamar kos-ku dengan linangan tangis penuh kehilangan.

"Aaaah.....apa gunanya disesali jika tak kembali, mendapatkannya kembali bagai mencari jarum di tumpukan jerami, dan menyusunnya kembali bagai menegakkan benang basah.

"Sedari dulu memang begini, penuh perjuangan namun aku masih disini.. ada orang yang menahanku di sini, menarikku dari setiap langkah yang kulalui. Yaa, ada seseorang.. tapi siapa? siapa??? siapaaa....haaaaaa????", kesal amarah hatiku dengan "boOom" bunyian tembok bahasa tanganku.

"Adakah kepingan-kepingan cinta imajinasiku yang masih menggerogoti otakku?"
"hah.... ini bukan jalanku. Aku bukanlah penuleeE3Eeesssssss!!!"

Amarahku semakin menguatkanku akan indahnya kehidupan giLlaa, dimana hari-hariku penuh dengan kebangkitan yang berakhir dengan keputusasaan. 

Sampai senja berlalu..... sore mengintai hingga malam terkubur dengan aku bercangkuk di bawah pohon jati depan kos-ku menanam amarah dan benci akan kegagalanku, keselipkan cerita: wahai Blogger, see you in another life ennnnddddd goodbye.

B. .e. .r. .s. .a. .m. .b. .u. .n. .g. .






BLOGGER; MENGUBAH NASIB DENGAN MENYAPA DUNIA

Episode 1: 

Ngeblog; Melawan Seribu Orang Dalam Meraih Satu Tujuan





Mencari celah di tengah ribuan orang demi mendapat satu tujuan adalah kata-kata yang tepat untuk sebuah artikel berjudul "mendapatkan penghasilan lewat ngebog".

Dua tahun berlalu aku masih berkutat disini dengan posisi dan hasil yang sama. Kenangan akan dua tahun itu pun masih ada dalam benak saya. Kutak-katik hp yang beriringan sejalan dengan otak yang berpikir ekstra, seribu pertanyaan untuk satu kata "blogger" dan seribu semangat dari satu kata "uang" dengan harapan untuk satu tujuan "mengubah nasib".

Namun, kenyataannya saya masih di sini dan saya masih begini.. tidak ada yang berubah. Di saat teringat akan hal tersebut ingin rasanya berteriak mengubah arah air mata ini berjalan.

Sering saya abaikan tidur, menunda belajar, kadang absen kuliah, abaikan orang-orang didekatku bahkan mereka sebagai orang tuaku, hingga orang yang paling special dalam hidupku,   ... namun aku masih disini.

Cinta, Senasib Dalam Seribu Perbedaan



Cinta; Senasib dalam Seribu Perbedaan

seharusnya jalan yang mereka lalui tidak menuju ke tempat ia berada sekarang andai orang tua Lili tidak melarang cinta mereka.

 

Ketika cinta terlarang, apa yg kamu pikirkan? Apa yg terjadi pada dirimu yg seakan darahmu mengalir karenanya; karena dia yang kamu cintai? Apa yg akan kamu lakukan?



Mereka sekarang kembali memimpikin untuk bisa mencari jalan kedua. Setelah mengetahui Lili akan dikirim oleh orang tuanya ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya, Tino hampir berhenti bernapas seolah tidak habis pikir akan hal itu.

Tubuhnya lemah gemulai dengan berlinang air mata di pipinya pemberi tanya “apakah aku masih bisa memeluknya di kejauhan sana nanti?”. “apakah dia bisa menjaga rasa ini di tengah angin hangat yang berhembus setiap saat tertarik akan anggunnya di kejauhan sana?”, tanya Tino lagi dalam hati yg seakan beku.

Ketika cinta bicara, lenyaplah semua pertanyaan itu dengan segala cara yg seolah mnjadi jawaban dari sekian prtanyaan, dan di malam itu mereka memutuskan utk menebas rintangan (musuh mereka) dan menanam ancaman setiap arah mata angin dengan pertahanan yang kuat yaitu “seolah senasib dalam seribu perbedaan, cinta”, tak sedikitpun kedinginan menusuk tubuh Lili dengan eratan tangan Tino mengikat punggung Lili, jeritan desahan di malam purnama penuh cinta itu, “auuuuuuuuu… (gonggongan asmara serigala di bukit disana) pun terdengar mengisyaratkan bagi lawan jenisnya.”

Semalam bersama, senasib akan rasa dan hasrat mengikat mereka hingga segala pertahanan mereka takan rapuh sampai kelahiran sang bayi bukti cinta mereka. Kini yang selalu muncul adalah batin yang selalu malu terhadap keluarga Lili di saat Tino masih belum mendapatkan pekerjaan. Kepada sang teman ia mengadu tawarannya  pada Tuhan akan jalan yang mereka lalui seharusnya tidak menuju ke tempat ia berada sekarang andai orang tua Lili tidak melarang cinta mereka.

Lalu bagaimana Tino menjawab tantangan yang sedang ia hadapi tersebut? Akankah cinta Tino dan Lili membuktikan bahwa tak ada yang melebihi kekuatan cinta? Atau malah sebaliknya bahwa kekuatan cinta adalah sesuatu yang mustahil?